Minggu, 19 September 2010

KONSEP CSR (CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY) SEBAGAI INSTRUMEN ALTERNATIF DALAM PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT INDONESIA

*) NB : Seluruh tulisan yang ada di blog ini dapat dikutip untuk keperluan akademis dengan mencantumkan sumbernya. STOP PLAGIARISME


KARYA TERJEMAHAN
Oleh: Inda Rahadiyan

PEARSON INTERNATIONAL EDITION
International Business Law

Text,Cases and Reading


FIFTH EDITION
Ray August, Don Mayer and Michael Bixby




Bagian Satu
PENGANTAR HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM PERBANDINGAN



A. APA YANG DIMAKSUD DENGAN HUKUM INTERNASIONAL?

Hukum Internasional terdiri dari tiga bentuk hubungan internasional, yaitu:
(1) Hubungan antar negara
(2) Hubungan antara negara dengan oang
(3) Hubungan antar orang (dalam pengertian hukum)
Subyek hukum internasioanal mengalami perubahan signifikan dewasa ini. Secara tradisional, hukum internasional dipahami sebagai hubungan antar pemerintah negara atau hubungan antar negara. Ketentuan hukum nasional dari dua negara atau lebih,hubungan hukum antar banyak negara tersebut secara umum kemudian dikenal sebagai konsep hukum internasional publik. Sementara itu, hubungan yang terjadi antar pihak swasta antar negara dikenal dengan istilah hukum internasional privat yang ditafsirkan sebagai hukum yang diadopsi sebagai aturan hukum dalam hubungan antara orang(perusahaan) yang berbeda negara.


Dalam beberapa hal penggunaan istilah hukum internasional menimbulkan perdebatan. Tidak ada sebuah kesepakatan dari masing-masing pemerintah negara, baik untuk menyusun maupun melakukan penegakan hukum serta tidak ada satu persetujuan Internasional pun yang membentuk sebuah badan penyelesaian sengketa yang terjadi antar warga negara dari negara yang berbeda. Kondisi demikian dapat dipahami karena “hukum dipandang sebagai pemegang mandat dari kedaulatan negara”, konsekuensi dari pandangan tersebut adalah tidak adanya ketentuan hukum yang benar-benar memaksa bagi seluruh negara. Lebih dari itu, pengaruh kekuasaan negara dalam sektor swasta turut mendorong perkembangan baru dalam bidang hukum internasional. Saat ini, istilah hukum internasional telah digunakan sebagai aturan main dalam berbagai permasalahan yang melewati lintas batas negara baik pada sektor public maupun privat.
Setidaknya terdapat tiga pandangan mengenai hukum internasional. Kaum Cosmopolitan memandang konsep hak asasi manusia yang bersifat universal sebagai dasar dari hukum internasional. Sehingga, hukum internasional harus menetapkan larangan bagi setiap negara terhadap tindakan-tindakan yang melanggar hak asasi manusia dan tindakan yang tidak relevan dengan konsep hak asasi manusia. Sementara itu, kaum positivis memandang bahwa hukum internasional berdasarkan pada dua hal yaitu (1) persamaan kedaulatan bagi setiap negara di hadapan hukum internasional (2) negara menciptakan konsep hukum internasional bagi setiap individu melalui perjanjian internasional atau melalui hukum kebiasaan yang telah ada. Lebih lanjut, hukum internasional dalam pandangan positivis dilihat sebagai bentuk perjanjian antar negara dimana kaidah hukum internasional akan menjadi ketentuan yang mengikat apabila kaidah tersebut dicantumkan dalam sebuah perjanjian baik secara implisit maupun eksplisit. Berbeda dengan golongan Cosmopolitan dan Positivis, Hobbesians meyakini bahwa negara hanya akan setuju dan patuh pada ketentuan hukum internasional yang menguntungkan kepentingan mereka. Tentunya, para mahasiswa, ahli hukum serta politikus akan jarang untuk mengadopsi salah satu dari pandangan tersebut dan menerapkannya secara konsisten akan tetapi menggabungkan pandangan-pandangan yang ada sehingga masing-masing pandangan dapat dilaksanakan secara bersama-sama oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam sebuah negara.
Bagaimanapun, hukum internasional lebih dari sekedar perilaku baik atau tindakan saling menguntungkan diantara masing-masing negara yang berdaulat. Doktrin Comity adalah salah satu contoh yang tepat untuk memberikan gambaran terkait dengan hal ini. Comity, sebuah praktik pergaulan antar negara yang dilakukan dengan memperhatikan reputasi(citra baik) dan kaidah kesopanan. Comity bukan merupakan suatu kaidah hukum, meskipun demikian negara tidak menolak berlakunya doktrin ini karena negara menganggapya sebagai sebuah tindakan penghormatan. Sebagai contoh, konsep comity (penghormatan) telah menjadi bagian dari kewajiban negara berdasarkan artikel 36 Konvensi Vienna tahun 1961 Tentang Hubungan Diplomatik. Dalam konvensi tersebut ditentukan bahwa sebagai sebuah penghormatan, bagi para diplomat luar negeri yang mengimpor barang untuk keperluan pribadi dibebaskan dari berbagai kewajiban yang berkaitan dengan impor pada umumnya. Meskipun terkait dengan pelaksanaan keistimewaan ini tidak ada paksaan bagi negara untuk melaksanakannya akan tetapi negara tetap melaksanakan. Hal ini berkaitan dengan asas timbal balik dalam hukum internasional yang mana suatu negara mengharapkan perlakuan yang sama dari negara lain.
Dalam konsep Comity yang bersifat non formal ini negara memiliki kewenangan untuk melakukan pengecualian dalam pemberian penghormatan kepada negara lain, pengecualian ini terutama dilakukan melalui persetujuan yang berkaitan dengan pemberlakuan suatu ketentuan dan akibatnya dalam bidang eksekutif, legislative serta bidang peradilan. Prinsip ini terutama dilaksanakan oleh pengadilan dengan menghormati kewenangan, ketentuan hukum maupun putusan pengadilan negara lain.
Kasus antara Ignatio Sequihua Versus Texaco merupakan sebuah kasus yang relevan dengan doktrin comity. Berdasarkan pada kasus tersebut kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa menurut doktrin Comity, Pengadilan harus melakukan penafsiran terhadap setiap perkara yang diperiksanya dengan menghormati hukum dan kepentingan negara lain(dalam hal ini pihak asing).
Walaupun negara tidak memiliki kewajiban untuk menggunakan hukum dari negara lain dalam mekanisme penyelesaian sengketa akan tetapi negara menerapkannya secara sukarela dan terbatas. Sebagai contoh, pengadilan di Amerika Serikat akan menolak untuk memeriksa sebuah perkara dalam kondisi dimana pihak penggugat (asing) dalam perkara tersebut dianggap tidak memiliki koneksitas yang cukup dengan negara Amerika Serikat, ketika terdapat forum pengadilan lain yang dianggap lebih layak, ketika Konggres tidak memerintahkan Undang-Undang untuk menerima doktrin ekstrateritorial serta ketika hukum nasional memerintahkan kepada pengadilan untuk menolak berlakunya hukum internasional.
Walaupun terdapat banyak pembatasan, telah menjadi sebuah kebiasaan bagi pengadilan di beberapa negara untuk mempertimbangkan aspek Internasional dalam rangka memutus perkara. Jika sebuah korporasi menjalankan usaha bisnisnya di negara lain lalu korporasi tersebut melakukan pelanggaran hukum di negara tersebut maka negara tuan rumah, negara tuan rumah dalam hal ini akan memiliki kewenangan yang diakui di bawah hukum kebiasaan internasional untuk memutuskan perkara terhadap tergugat yang merupakan pihak asing tersebut. Ketentuan ini dikenal sebagai asas teritorial dimana negara memiliki yurisdiksi untuk memutuskan perkara yang melibatkan pihak asing. Hal kedua terkait pula dengan yurisdiksi adalah jika perusahaan-perusahaan Amerika Serikat melakukan tindakan serupa di negara asing, terhadap mereka masih dimungkinkan untuk diperiksa oleh pengadilan Amerika Serikat berdasarkan prinsip yurisdiksi nasional. Apabila tindakan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing menimbulkan dampak secara langsung bagi suatu negara disamping hal yang terkait dengan kepemilikan mereka sendiri, maka terhadap mereka dapat dikenakan pemeriksaan oleh negara lain, yurisdiksi yang bersifat obyektif semacam ini bagaimana pun juga akan lebih problematik bagi pihak yang menjadi subyek pada beberapa putusan pengadilan seperti yang terlihat pada kasus Timberline.
Meskipun negara memiliki yurisdiksi ke luar terhadap perkara yang menimbulkan akibat secara langsung bagi negara namun demikian sebaiknya negara tidak memberlakukan hukum asing sebagai tindak lanjut atas seseorang atau aktivitas yang berkaitan dengan negara lain bila hal tersebut ternyata tidak beralasan. Apa yang dikenal dengan istilah restatement kemudian digunakan sebagai bahan evaluasi dalam pemberlakuan hukum asing. Beberapa faktor yang digunakan untuk menilai beralasan atau tidaknya pemberlakuan hukum asing adalah sebagai berikut:
a) Kaitan antara suatu aktivitas dengan negara regulator, yang termasuk dalam hal ini adalah aktivitas yang berlangsung dalam wilayah teritorial, memiliko substansi, langsung serta dapat dinilai sebagai aktivitas yang menimbulkan dampak dalam suatu wilayah tertentu;
b) Hubungan lain, seperti asas nasionalitas, wilayah, atau aktivitas ekonomi antara negara regulator dengan orang yang secara resmi terhadap aktivitas yang telah diatur, atau hubungan antara negara dengan pihak lain yang dimaksudkan untuk mendapat perlindungan dari pengaturan tersebt;
c) Karakteristik dari aktivitas yang hendak diatur, arti penting sebuah regulasi bagi negara regulator, termasuk dalam hal ini adalah adanya negara lain yang telah melakukan pengaturan pada aktivitas yang dimaksud, serta tingkat kelayakan bagi aturan untuk diterima sebagai prinsip umum;
d) Kepentingan pengaturan terhadap politik internasional, hukum, atau sistem ekonomi;
e) Ruang lingkup pengaturan yang sesuai dengan kebiasaan dalam sistem hukum internasional;
f) Kemungkinan adanya negara lain yang memiliki kepentingan dalam aktivitas yang hendak diatur;
g) Kemungkinan timbulnya konflik dengan peraturan negara lain.
Keberadaan sebuah forum yang dapat menyelesaikan perkara keperdataan internasional akan menghilangkan kebutuhan untuk menciptakan keseimbangan dibawah asas “kelayakan”. Terdapat beberapa permohonan terkait dengan hal ini namun tidak ada yang menunjukkan adanya suatu keadaan yang mengancam. Sementara itu, perjanjian multilateral seperti Hague Choice of Courts Agreements Conventions dilaksanakan untuk meminimalisasi ketidakpastian dan ketidakjelasan bagi pengadilan nasional ( sering digunakan dengan istilah “municipal Court) yang memeriksa perkara dengan para pihak yang berasal lebih dari satu negara.
B. PENYUSUNAN HUKUM INTERNASIONAL
Dalam sebuah negara, hukum diciptakan oleh badan legislative, pengadilan atau badan pemerintah lainnya. Akan tetapi di tingkat internasional, tidak ada perangkat-perangkat pembentuk hukum yang dikenal secara formal. Selain itu tidak ada juga yang disebut sebagai pemerintah dunia. Terlepas dari kondisi tersebut, dalam bekerjasama, negara berfungsi untuk menetapkan aturan bagi legislasi dalam negeri masing-masing.

Menurut pandangan positivis, hukum internasional hanya berperan pada saat negara melaksanakannya. Pelaksanaan oleh masyarakat internasional nampak dalam praktik pada tiap negara, dalam praktik ini apat dilihat pujla adanya persetujuan antar negara. Beberapa pernyataan atau bukti tentang kepatuhan terhadap hukum internasional ini dapat dilihat pada putusan-putusan mahkamah internasional, (termasuk putusan yang terdahulu, Pengadilan Tetap Internasional), resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam penyusunan perjanjian-perjanjian internasional serta hasil-hasil konferensi internasional. Kadangkala, terhadap sebuah kebijakan yang telah diatur melalui perjanjian bilateral secara berulang-ulang, pengadilan akan menolak pemberlakuan kaidah tersebut sebagai bentuk kepatuhan masyarakat Internasional. Para legal writer seringkali mencatat dan melaporkan sebuah perjanjian yang belum diratifikasi kepada badan-badan Internasional, seperti komisi-komisi internasional , tindakan tersebut sebagai sebuah trend yang mengindikasikan adanya kepatuhan internasional.
Kepatuhan suatu negara kepada hukum Internasioan dapat ditemukan pada deklarasi yang dilakukan oleh pemerintah dari negara yang bersangkutan, dalam hukum nasionalnya, dalam putusan pengadilannya serta dalam pejanjian-perjanjian internasional (baik bilateral maupun multilateral) yangmana negara tersebut berkedududkan sebagai pihak.

C. SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL
Sumber hukum atau bukti-bukti hukum Internasional adalah bahan-bahan yang digunakan oleh pengadilan internasional dalam mencari kaidah hukumnya. Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional menentukan sumber-sumber hukum internasional yang dapat digunakan oleh pengadilan. Sebagian besar penulis memandang bahwa daftar sumber hukum dalam pasal tersebut telah lengkap dan sebaiknya diterapkan oleh pengadilan internasional. Pasal 38 ayat (1) menentukan bahwa
Pengadilan yang melaksanakan fungsinya dalam rangka memeriksa dan memutus sengketa yang berkaitan dengan hukum Internasional dapat mengacu pada:
a) Konvensi internasional
b) Kebiasaan internasional sebagai bukti dari pelaksanaan prinsip-prinsip umum yang telah diterima sebagai hukum
c) Prinsip-prinsip umum yang diakui oleh negara


Bersambung…akan diupload pada bagian selanjutnya

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN BERKAITAN DENGAN TINDAKAN PEMALSUAN MEREK

*) NB : Seluruh tulisan yang ada di blog ini dapat dikutip untuk keperluan akademis dengan mencantumkan sumbernya. STOP PLAGIARISME
   
Oleh: Inda Rahadiyan, Fadhilatul Hikmah, Debby Ferina Tampubolon dan Hilda Aini
                                                                        
                               
                                                                               BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perkembangan hukum di bidang perlindungan konsumen yang semakin maju dewasa ini menjadi fenomena yang penting dan menarik untuk dikaji. Hukum perlindungan konsumen yang berakar dari gerakan konsumen Amerika Serikat  kemudian merambah hampir ke  seluruh dunia tak terkecuali Indonesia. Regulasi bidang perlindungan konsumen di negeri ini dapat dikatakan  masih relatif muda. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen menrupakan awal dari kebangkitan “consumer power”di Indonesia. Dengan kata lain kehadiran UU.No.8 Tahun 1999 menjadi tonggak sejarah perkembangan hukum perlindungan konsumen di Indonesia.[1]
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen(UUPK) dipandang telah cukup baik oleh sebagian kalangan. UUPK memberikan pengaturan cukup baik mulai dari pengertian konsumen,pelaku usaha,hak dan kewajiban hingga sanksi terhadap berbagai bentuk pelanggaran. Namun demikian, bukan berarti ketentuan UUPK telah sempurna. UUPK memang cukup responsif terhadap kedudukan konsumen yang seringkali dirugikan oleh tindakan-tindakan pelaku usaha namun terkait dengan beberapa hal yang menimbulkan kerugian bagi konsumen UUPK belum memberikan pengaturan yang jelas. Salah satunya  adalah mengenai pelanggaran terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual. Tindakan pelanggran HAKI yang menimbulkan kerugian bagi konsumen seharusnya menjadi salah satu materi muatan  dalam UUPK  karena pada kenyataannya jumlah tindak pelanggaran HAKI yang merugikan konsumen sangat banyak  terjadi.
Salah satu contoh kasus menarik dan patut untuk dikaji adalah pemalsuan kosmetik merek ‘Ponds’. Kerugian yang diderita oleh konsumen terhadap tindakan pemalsuan kosmetik ini pada level tertentu sangat membahayakan kesehatan bahkan mengancam kehidupan. Berdasarkan data dari BPOM didapatkan sebanyak 70 merek kosmetik  mengandung bahan berbahaya seperti merkuri setelah diadakan uji laboratorium sejak September 2008 hingga Mei 2009. Ketujuh puluh produk di atas ditengarai bisa memicu penyakit gangguan syaraf, gangguan perkembangan janin, serta penyakit kanker[2]. Berdasarkan  fakta  tersebut di atas maka sudah selayaknya jika konsumen mendapatkan perlindungan keamanan atas setiap produk yang dikonsumsinya. Dengan demikian,pembahasan mengenai perlindungan konsumen terhadap tindakan pemalsuan kosmetik  ini menjadi sangat penting untuk dikaji.
 B. Rumusan masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah tersebut diatas,maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah sebgai berikut:
1.      Hal-hal apa sajakah yang menjadi karakteristik  dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999?
2.      Bagaimanakah UUPK memberikan perlindungan bagi konsumen yang menderita kerugian sebagai akibat dari tindakan pemalsuan merek kosmetik       ( Ponds)?
BAB II
PEMBAHASAN
Pada intinya terdapat beberapa hal penting dan patut digarisbawahi di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Adapun  beberapa hal yang kemudian  menjadi karakteristik Undang-Udang ini adalah sebagai berikut:
1.      Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak mengatur dengan jelas mengenai macam dan jenis barang yang dilindungi[3]. Ketentuan semacam ini dapat dipahami sebagai suatu bentuk perwujudan dari semangat memberikan perlindungan bagi konsumen karena dengan tidak dirincinya macam dan jenis barang yang dilindungi maka hal ini akan menguntungkan bagi konsumen. Dikatakan menguntungkan bagi konsumen karena konsumen yang mengkonsumsi barang jenis apapun tanpa terkecuali akan mendapatkan perlindungan yang sama dari Undang-Undang ini.
2.      Undang-Undang Perlindungan Konsumen sangat menekankan pentingnya arti dari ‘konsumen’[4]. Penekanan terhadap arti konsumen dalam Undang-Undang ini sejalan dengan semangat pembentukannya yang memang ditujukan untuk membentuk sebuah peraturan perundang-undangan yang hendak memberikan perlindungan  kepada konsumen secara lebih nyata. Semangat ini Nampak dalam penjelasan UUPK yang juga secara lebih jelas meberikan penjelasan terhadap pengertian konsumen. Dengan demikian,semangat untuk memberikan perlindungan bagi konsumen merupakan hal utama yang menjadi karakteristik dari perumusan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
Sesuai dengan semangat perlindungan konsumen yang hendak diberikan oleh UUPK maka permasalahan menyangkut kerugian yang diderita oleh konsumen menjadi hal yang paling penting untuk dikaji. UUPK telah jelas memberikan perlindungan hukum bagi konsumen tarhadap berbagai tindakan pelanggaran yang merugikan konsumen namun terhadap tindakan pelanggran HAKI yang merugikan konsumen tidak dicover oleh UUPK melainkan dikembalikan lagi pada Undang-Undang yang bersangkutan.
Sebagai contoh adalah kasus pemalsuan merek kosmetik ‘Ponds’.  Dalam TRIPs artikel 16 ditentukan bahwa.
The owner of a registered trademark shall have the exclusive right to prevent all third parties not having the owner’s consent from using in the course of trade identical or similar signs for goods or services which are identical or similar to those in respect of which the trademark is registered where such use would result in a likelihood of confusion. In case of the use of an identical sign for identical goods or services, a likelihood of confusion shall be presumed. The rights described above shall not prejudice any existing prior rights, nor shall they affect the possibility of Members making rights available on the basis of use.[5] Dengan  demikian, tindakan pemalsuan merek Pons jelas melanggra ketentuan HAKI dan lebih lanjut tindakan ini pun menimbulkan kerugian bagi konsumen yang mengkonsumsi produk ponds palsu ini.
Dalam kasus pemalsuan tersebut, apabila terbukti si pemalsu merugikan atau membahayakan konsumen yang mengkonsumsi produk palsunya maka konsumen yang bersangkutan tidak akan mendapatkan perlindungan hukum dari UUPK namun ia akan mendapat perlindungan hukum secara tidak langsung dari Undang-Undang Merek yang melindungi si pemegang merek. Dengan kata lain, UUPK mendelegasikan perlindungan konsumen terhadap tindakan pelanggran HAKI yang merugikan konsumen kepada Undang-Undang HAKI yang bersangkutan sehingga perlindungan yang didapatkan oleh konsumen yang dirugikan oleh tindakan pemalsuan merek kosmetik ponds  berasal dari perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 kepada PT. Unilever selaku pemegang merek ‘Ponds’ terdaftar.
Pada kasus pemalsuan merek ponds sebagaimana tersebut di atas, konsumen yang dirugikan tidak dapat mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pelaku usaha (dalam hal ini PT.Unilever) karena ternyata produk yang merimbulkan kerugian tersebut bukanlah produk yang diproduksi oleh PT. Unilever melainkan produk yang diproduksi oleh pelaku usaha lain yang dengan sengaja memalsukan merek ponds. Dengan demikian,akan menjadisangat sulit apabila penyelesaian kasus ini dilakukan dengan menggunakan UUPK. Oleh karena itu,pada masa mendatang diharapkan revisi terhadap UUPK khususnya agar UUPK memberikan pengaturan terhadap tindakan pelanggran HAKI yang merugikan konsumen karena seluruh Undang-Undang tentang HAKIhanya memberikan perlindunan hukum bagi pemegang HAKI yang sebenarnya namun tidak memberikan perlindngan hukum bagi konsumen.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan sebagaimana tersebut diatas maka dapat ditari kesimpulan sebagai berikut:
a.       Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen memiliki dua karakteristik utama yaitu: tidak memberikan pengaturan yang jelas mengenai jenis dan macam barang yang dilindungi sehingga ketentaun ini akan lebih menguntungkan pihak konsumen
b.      Undang_Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen hendak memberikan perlindungan kepada konsumen dengan lebih baik. Indikasi dari hal tersebut terlihat dalam penjelasan Undang-Undang ini yang memberikan pengertian’konsumen’ secara rinci.
c.       Undang-Undang Perlindungan konsumen mendelegasikan penyelesaian megenai hal-hal yang menyangkut pelanggaran HAKI  yang menimbulkan kerugian bagi konsumen kepada UU HAKI ybs. Dalam kasus pemalsuan merek Pons ini, konsumen yang dirigikan akan mendapatkan perlindungan hukum secara tidak langsung dari Undanng-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.
B.       Saran
Berdasarkan pada pembahasan dan analisis singkat mengenai permasalahan-permaslahan tersebut di atas maka penyusun dapat memerikan saran sebagai berikut;
a.       Agar dikemudian hari UUPK dapat direvisi sehingga ketentuna mengenai pelanggaran HAKI yang menimbulkan kerugian bagi konsumen dapat dicover  dalam UUPK sehingga hak-hak konsumen untuk memperoleh keamanan dalam mengkonsumsi barang dan jasa benar-benar terllindungi
b.       Agar aparat penegak hukum dapat lebih meningkatkan law enforcement terhadap ketentaun UUPK agarkerugian yang diderita oleh konsumen dapat dikurangi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Barkatullah,Abdul hakim.2008. Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran.Banjarmasin.FH Unlam Press
Widjaja,Gunawan dkk.2000. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen.PT. Gramedia Pusaka Utama.Jakarta
UNCTAD-ICTSD Project on IPRS and Sustanable Development.2005.Resource Book on TRIPS and Development.Cambridge University Press.USA.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Internet
Produk Ponds Dipalsukan ,http://news.okezone.com/read/2009/06/11/1/228370/unilever-produk-ponds-dipalsukan diakses tanggal 18 Juni 2009 pukul 13.01.

[1] Abdul Halim Barkatullah,2008,Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran,FH Unlam Press,Banjarmasin,hal.5
[2] Unilever : Produk Ponds Dipalsukan ,http://news.okezone.com/read/2009/06/11/1/228370/unilever-produk-ponds-dipalsukan diakses tanggal 18 Juni 2009 pukul 13.01
[3] Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani ,2000,Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,PT. Gramedia Pustaka Utama,Jakrta,hal.9
[4] Idem,hal.9
[5] UNCTAD-ICTSD Project on IPRS and Sustanable Development,2005,Resource Book on TRIPS and Development,Cambridge University Press,USA,page 235.

Jumat, 17 September 2010

Kedudukan Perbankan Syariah dalam Regulasi Perbankan di Indonesia (Periode Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 sampai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008)


*) NB : Seluruh tulisan yang ada di blog ini dapat dikutip untuk keperluan akademis dengan mencantumkan sumbernya. STOP PLAGIARISME
 
Oleh: Inda Rahadiyan

BAB I. PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ketidakstabilan nilai mata uang dan kenaikan harga barang yang cenderung terjadi secara terus-menerus sejak awal tahun 1998 menjadi salah satu indikator bahwa sistem perbankan konvensional yang selama ini diandalkan ternyata tidak mampu menahan  berbagai dampak buruk akibat hempasan krisis keuangan global. Kondisi semacam ini kemudian mendorong para pelaku Usaha Perbankan untuk mulai menerapkan salah satu sistem perbankan alternatif  yaitu sistem perbankan Islam atau yang lebih dikenal dengan Perbankan Syariah.
Sistem perbankan Syariah merupakan sebuah sistem perbankan yang mendasarkan kegiatan usahanya pada sebuah konsep pembagian secara adil baik keuntungan maupun kerugian. Konsep pembagian keuntungan dan kerugian tersebut diharapkan mampu mewujudkan kesejahteraan dan menaikkan taraf hidup masyarakat oleh karena dalam sistem ini baik pihak bank maupun pihak nasabah mempunyai peluang yang sama dalam memperoleh keuntungan dari kegiatan investasi yang dilakukan.
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 7  Tahun 1992 tentang Perbankan merupakan pintu gerbang bagi pengakuan keberadaan perbankan syariah di Indonesia. Undang-Undang Perbankan tersebut sekaligus juga menunjukkan adanya kesepakatan dari pihak pemerintah dan masyarakat untuk menerapkan sistem dual banking system atau sistem perbankan ganda yang terdiri dari sistem perbankan konvensional yang telah lama kita kenal dan sistem perbankan syariah.
Perkembangan pengaturan mengenai perbankan syariah dapat kita lihat pada pemberlakuan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Ketentuan Undang-Undang baru tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah beserta masyarakat Indonesia telah semakin mantap untuk memberlakukan sistem perbankan ganda.
Regulasi mengenai perbankan syariah saat ini telah memasuki suatu tahapan baru yakni tahapan purification atau pemurnian dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang  Perbankan Syariah. Penberlakuan Undang-Undang ini diharapkan mampu memberikan payung hukum dan landasan gerak yang memadai bagi kegiatan perbankan syariah di Indonesia.
Dengan demikian, kajian dan pembelajaran khususnya mengenai keberadaan perbankan syariah dalam regulasi pemerintah pada periode ini menjadi sangat relevan dan penting untuk dilakukan. Masyarakat Indonesia pada umumnya dan kalangan terpelajar pada khususnya harus mempersiapkan diri dengan sistem perbankan yang baru ini agar pada masa yang akan datang Perbankan Syariah benar-benar mampu mencapai visi utamanya guna mewujudkan kesejahteraan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.

B.     Rumusan Masalah
      Berdasarakan pada latar belakang permasalahan yang telah disampaikan sebelumnya maka didapatkan rumusan masalah sebagai berikut:
1.Apa yang dimaksud dengan perbankan syariah dan bagaimana kontribusinya dalam pembangunan perekonomian di Indonesia?
2. Bagimanakah pengaturan atau regulasi mengenai perbankan syariah di Indonesia sejak periode Undang-Undang Nomor 14 tahun 1967 sampai dengan periode Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008?

BAB II.PEMBAHASAN
A.    Istilah dan Definisi Perbankan Syariah
Secara de facto Perbankan Syariah telah dikenal dalam dunia perbankan Indonesia sejak tahun 1992. Undang-Undang Perbankan tahun 1992 secara implisit mengenal sistem perbankan Syariah dengan istilah ’Bank Bagi Hasil’. Prinsip bagi hasil tersebut pada akhirnya sangat mempengaruhi perkembangan Perbankan Syariah dan menjadi salah atu faktor penarik terkuat bagi sebagian besar Nasabahnya.
Secara umum Perbankan Syariah diartikan sebagai suatu sistem perbankan yang melandaskan kegiatan Usahanya pada prinsip Syariah (hukum-hukum Islam). Berbeda dengan Sistem perbankan konvensional yang selama ini kita kenal dengan konsep ’bunga’nya maka dalam Perbankan Syariah konsep bunga sama sekali tidak dikenal. Bank Syariah menawarkan sebuah konsep baru ( konsep bagi hasil) yang dewasa ini dipandang jauh lebih adil bagi para pihak.
Perbankan Syariah semakin menempati posisi penting dalam sistem Perbankan Nasional sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998. Pemberlakuan Undang-Undang ini memberikan suatu harapan positif bagi sistem Perbankan Syariah oleh karena melalui Undang-Undang ini Pemerintah telah membuka lebar kegiatan usaha perbankan dengan berdasarkan pada prinsip Syariah.[1]
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah mendefinisikan Perbankan Syariah sebagai segala sesuatu yang menyangkut  Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah,mencakup kelembagaan,kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Lebih lanjut dengan penerbitan Undang-Undang yang bersifat lex specialis ini diharapkan Bank Syariah mampu mewujudkan fungsinya sebagai salah satu penyokong perekonomian nasional.

B.     Kedudukan Perbankan Syariah pada Berbagai Periode Perundang-Undangan Perbankan di Indonesia
 B.1 Periode Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967
Pengaturan terhadap bidang perbankan di Indonesia telah dimulai sejak masa penjajahan Belanda. Penerintah Kolonial menerbitkan berbagai peraturan baik dalam bentuk Undang-Undang(Wet) maupun surat-surat keputusan resmi untuk menertibkan praktik lembaga pelepas uang yang banyak terjadi pada saat itu.
Regulasi Perbankan di Indonesi secara sistematis dimulai pada tahun 1967 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun1967 tentang pokok-pokok Perbankan.Undang-Undang ini memberikan pengaturan yang menyeluruh mengenai sistem perbankan yang berlaku pada masa itu.[2] Bab I pasal 13 huruf C Undang-Undang ini memberikan pengertian mengenai kredit yang berhubungan dengan kedudukan Bank Syariah. Secara lengkap pasal tersebut berbunyi:
Kredit adalah penyediaan uang tau tagihan-tagihan yang dapat disamakan dengan itu berdasakan persetujuan pinjam-meminjam antara bank dengan lain pihak dalam hal mana pihak peminjam berkewajiban melunasi utangnya setelah jangka waktu dengan jumlah bunga yang telah ditetapkan.
Berdasarkan pengertian kredit sebagaimana tersebut di atas maka dapt disimpulkan bahwa sisitem perbankan yang dianut oleh Indonesia adalah sisitem perbankan konvensional dengan penentuan bunga sebagai unsur utamanya. Terlebih lagi pada masa itu Pemerintah memegang kendali penuh atas monopoli penentuan susku bunga yang seragam agar tidaj terjadi kesewenang-wenangan pihak bank dalam menetapkan susku bunga serta untuk menjaga stabilitas keuangan negara.
B.2 Periode Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
Kemunculan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan merupakan titik terang bagi pendirian bank dengan sistem Syariah. Pasal 6 huruf m dan pasal 13 huruf c Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa salah satu usaha dari bank umum dan bank perkreditan rakyat adalah memberikan jasa pembiayaan nasabah dengan berdasarkan pada prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang termuat di dalam Peraturan Pemerintah No mor 72 Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan prinsip bagi hasil.[3]
Berdasarkan pada kedua pasal tersebut maka bank nagi hasil adalah merupakan suatu bentuk bank yang keberadaannya telah dikenal dan diakui oleh Undang-Undang perbankan Nomor 7 Tahun 1992. Pada tahun yang sama kemudian dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 guna mengatur lebih lanjut mengenai bank bagi hasil (bank Islam). Terdapat beberapa hal penting yang diatur dalam peraturan  pemerintah tersebut antara lain adalah mengenai pertimbangan didirikannya bank dengan prinsip bagi hasil. Menurut Peraturan pemerintah ini,pendirian bank bagi hasil didasarkan pada prinsip bahwa bank bagi hasil merupakan salah satu jenis pelayanan jasa bank yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian pada periode ini bank Islam menjalankan peranannya dengan berlandaskan pada ketentuan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun tentang bank berdasarkan pada prinsip bagi hasil.
B.3 Periode Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang mengubah Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan telah membuka peluang yang lebih besar bagi perkembangan Bank Syariah yang keberadaannya telah  diakui oleh Undang-Undang sebelumnya.
Berdasarkan pada ketentuan Undang-Undang yang baru ini dapat disimpulan beberapa tujuan dari pendirian dan perkembangan Bank Syariah. Adapun tujuan dari pendirian dan pengembangan Bank Syariah menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah sebagai berikut:
1. Memberikan pemenuhan akan jasa perbankan bagi anggota masyarakat yang tidak menyetujui konsep bunga.
2. Memberikan dan membuka peluang  kegiatan pembiayaan bagi bidang usaha yang berdasarkan prinsip Syariah.
3. Memenuhi kebutuhan berupa produk dan jasa perbankan yang memiliki berbagai keunggulan komparatif yang antara lain; tidak mengenal sistem pembebanan bunga yang semakin lama semakin meningkat, memberikan pembatasan terhadap kegiatan spekulasi yang kurang produktif,kegiatan pembiayaan dilakukan dengan lebih memperhatikan pada pertimbangan moral.
Ketentuan pasal 1 ayat (3),Ayat (4), Ayat (12),dan Ayat (13) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 memberikan penegasan terhadap konsep perbankan Islam dengan mengubah penyebutan’Bank Bagi Hasil’ menjadi ’Bank dengan Prinsip Syariah’. Selain ketentuan sebagaimana tersebut pada berbagai ayat pasal 1 ini, terdapat pula satu ayat dalam pasal 1 yang memberikan penguatan mengenai kedudukan hukum Islam dalam hal perikatan.
Berbagai permasalahan hukum yang menyangkut kelembagaan dan operasional bank Islam juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Permasalahan-permasalahan yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis/ macam bank Islam
2. Pendirian Bank Islam
3. Konversi bank konvensional menjadi bank Islam
4. Badan pengawas Syariah dan Dewan Syariah Nasional
5. Pembukaan kantor cabang Syariah
6. Kegiatan Usaha dan produk-produk bank Islam
7. Pengawasan Bank Indonesia terhdap Bank Islam
8. Sanksi-sanksi pidana dan sanksi administratif [4]
Berdasarkan pada berbagai ketentuan yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut,perkembangan terpenting yang berkaitan dengan perkembangan Perbankan Syariah adalah bahwa Undang-Undang ini memberikan kemungkinan kepada Bank konvensional untuk melakukan kegiatan berdasarkan pada prinsip bagi hasil.
B.4 Periode Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah menandai bahwa sistem perbankan nasional telah memasuki tahapan baru. Upaya untuk memberikan suatu landasan dan payung hukum yang lebih memadai guna pemurnian sistem bank berdasarkan prinsip syariah telah terbukti dengan terbitnya Undang-Undang ini.
Pasal 16 Undang-Udang ini merupakan salah satu pasal yang memuat ketentuan terpenting mengenai perubahan kegiatan usaha bank umum menjadi bank syariah. Unit Usaha Syariah yang dimiliki oleh bank umum dapat menjadi bank umum tersendiri setelah mendapat izin dari Bank Indonesia. Dalam perkembangannya kini telah banyak pula diterbitkan peraturan bank Indonesia yang memberikan pengaturan tentang perbankan syariah. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/3/2008 merupakan salah satu contoh pengaturan tentang syarat-syarat konversi bagi suatu bank umum untuk dapat menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syariah.

BAB.III.PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dinamisasi pengaturan bidang Perbankan Syariah di Indonesia telah dimulai sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang merupakan pintu gerbang bagi pengakuan eksistensi perbankan Syariah sebagai salah satu bentuk sistem perbankan tersendiri disamping sistem perbankan yang telah ada sebelumnya,yaitu sisitem perbankan Konvensional.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dalam ketentuannya telah mengenal suatu bentuk bank tanpa bunga yang dikenal dengan istilah bank bagi hasil. Eksistensi perbankan Syariah dalam peraturan perundang-Undangan bidang perbankan semakin menunjukkan perkembangan pada saat diterbitkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang mengubah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992. Undang-Undang baru ini,mengakomodasi adanya kemungkinan bagi bank konvensional untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Bagi Hasil (bank tanpa bunga).
Perkembangan pengaturan mengenai perbenkan Syariah  telah benar-benar memasuki tahapan baru dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah beberapa waktu yang lalu. Undang-Undang Perbankan Syariah ini sebagai bukti adanya upaya memberikan payung hukum bagi pemurnian praktik perbankan Syarah di Indonesia. Berdasarkan pada ketentuan Undang-Undang ini pul suatu bank konvensional dapat melakukan konversi ke dalam bentuk bank syariah dengan mendirikan unit usaha syariah setelah memperoleh izin dari Bank Indonesia.
B.     SARAN
Segenap pengaturan perbankan nasional yang kini telah ada masih memerlukan penyempurnaan dan penambahan materi muatan agar dapat mencover seluruh kepentingan yang terkait. Terkait dengan Perbankan Syariah, diharapkan pada masa mendatang dapat diterbitkan sebuah pengaturan yang lebih jelas mengenai standard kegiatan suatu bank umum yang  telah mendapat persetujuan untuk melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah.








DAFTAR PUSTAKA
Buku;

  Antonio,Syafi’i dkk.2006.Bank Syariah Analisis Kekuatan,Kelemahan,Peluang dan Ancaman.Yogyakarta.Penerbit Ekonosia.

  Widyaningsih,dkk.2006.Bank dan Asuransi Islam di Indonesia.Jakarta.Kencana Prenada Media.

Peraturan Perundang-Undangan;

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
Undang-Undang Nomor 21 Tahun  2008
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/3/2003








[1] Syafii antonio dkk,1999,Bank Syariah Analisis kekuatan,kelemahan,Peluang dan Ancaman,Yogyakarta,penerbit Ekonosia,hal 22.
[2] Widyaningsih dkk,2006,Bank dan Asuransi Islam di Indonesia,Jakarta,Kencana Prenada Media,hal 48.
[3] ibid hal 51
[4] ibid,hal 55

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN BERKAITAN DENGAN TINDAKAN PEMALSUAN MEREK

*) NB : Seluruh tulisan yang ada di blog ini dapat dikutip untuk keperluan akademis dengan mencantumkan sumbernya. STOP PLAGIARISME
   
Oleh: Inda Rahadiyan, Fadhilatul Hikmah, Debby Ferina Tampubolon dan Hilda Aini
                                                                        
                               
                                                                               BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perkembangan hukum di bidang perlindungan konsumen yang semakin maju dewasa ini menjadi fenomena yang penting dan menarik untuk dikaji. Hukum perlindungan konsumen yang berakar dari gerakan konsumen Amerika Serikat  kemudian merambah hampir ke  seluruh dunia tak terkecuali Indonesia. Regulasi bidang perlindungan konsumen di negeri ini dapat dikatakan  masih relatif muda. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen menrupakan awal dari kebangkitan “consumer power”di Indonesia. Dengan kata lain kehadiran UU.No.8 Tahun 1999 menjadi tonggak sejarah perkembangan hukum perlindungan konsumen di Indonesia.[1]
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen(UUPK) dipandang telah cukup baik oleh sebagian kalangan. UUPK memberikan pengaturan cukup baik mulai dari pengertian konsumen,pelaku usaha,hak dan kewajiban hingga sanksi terhadap berbagai bentuk pelanggaran. Namun demikian, bukan berarti ketentuan UUPK telah sempurna. UUPK memang cukup responsif terhadap kedudukan konsumen yang seringkali dirugikan oleh tindakan-tindakan pelaku usaha namun terkait dengan beberapa hal yang menimbulkan kerugian bagi konsumen UUPK belum memberikan pengaturan yang jelas. Salah satunya  adalah mengenai pelanggaran terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual. Tindakan pelanggran HAKI yang menimbulkan kerugian bagi konsumen seharusnya menjadi salah satu materi muatan  dalam UUPK  karena pada kenyataannya jumlah tindak pelanggaran HAKI yang merugikan konsumen sangat banyak  terjadi.
Salah satu contoh kasus menarik dan patut untuk dikaji adalah pemalsuan kosmetik merek ‘Ponds’. Kerugian yang diderita oleh konsumen terhadap tindakan pemalsuan kosmetik ini pada level tertentu sangat membahayakan kesehatan bahkan mengancam kehidupan. Berdasarkan data dari BPOM didapatkan sebanyak 70 merek kosmetik  mengandung bahan berbahaya seperti merkuri setelah diadakan uji laboratorium sejak September 2008 hingga Mei 2009. Ketujuh puluh produk di atas ditengarai bisa memicu penyakit gangguan syaraf, gangguan perkembangan janin, serta penyakit kanker[2]. Berdasarkan  fakta  tersebut di atas maka sudah selayaknya jika konsumen mendapatkan perlindungan keamanan atas setiap produk yang dikonsumsinya. Dengan demikian,pembahasan mengenai perlindungan konsumen terhadap tindakan pemalsuan kosmetik  ini menjadi sangat penting untuk dikaji.
 B. Rumusan masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah tersebut diatas,maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah sebgai berikut:
1.      Hal-hal apa sajakah yang menjadi karakteristik  dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999?
2.      Bagaimanakah UUPK memberikan perlindungan bagi konsumen yang menderita kerugian sebagai akibat dari tindakan pemalsuan merek kosmetik       ( Ponds)?
BAB II
PEMBAHASAN
Pada intinya terdapat beberapa hal penting dan patut digarisbawahi di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Adapun  beberapa hal yang kemudian  menjadi karakteristik Undang-Udang ini adalah sebagai berikut:
1.      Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak mengatur dengan jelas mengenai macam dan jenis barang yang dilindungi[3]. Ketentuan semacam ini dapat dipahami sebagai suatu bentuk perwujudan dari semangat memberikan perlindungan bagi konsumen karena dengan tidak dirincinya macam dan jenis barang yang dilindungi maka hal ini akan menguntungkan bagi konsumen. Dikatakan menguntungkan bagi konsumen karena konsumen yang mengkonsumsi barang jenis apapun tanpa terkecuali akan mendapatkan perlindungan yang sama dari Undang-Undang ini.
2.      Undang-Undang Perlindungan Konsumen sangat menekankan pentingnya arti dari ‘konsumen’[4]. Penekanan terhadap arti konsumen dalam Undang-Undang ini sejalan dengan semangat pembentukannya yang memang ditujukan untuk membentuk sebuah peraturan perundang-undangan yang hendak memberikan perlindungan  kepada konsumen secara lebih nyata. Semangat ini Nampak dalam penjelasan UUPK yang juga secara lebih jelas meberikan penjelasan terhadap pengertian konsumen. Dengan demikian,semangat untuk memberikan perlindungan bagi konsumen merupakan hal utama yang menjadi karakteristik dari perumusan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
Sesuai dengan semangat perlindungan konsumen yang hendak diberikan oleh UUPK maka permasalahan menyangkut kerugian yang diderita oleh konsumen menjadi hal yang paling penting untuk dikaji. UUPK telah jelas memberikan perlindungan hukum bagi konsumen tarhadap berbagai tindakan pelanggaran yang merugikan konsumen namun terhadap tindakan pelanggran HAKI yang merugikan konsumen tidak dicover oleh UUPK melainkan dikembalikan lagi pada Undang-Undang yang bersangkutan.
Sebagai contoh adalah kasus pemalsuan merek kosmetik ‘Ponds’.  Dalam TRIPs artikel 16 ditentukan bahwa.
The owner of a registered trademark shall have the exclusive right to prevent all third parties not having the owner’s consent from using in the course of trade identical or similar signs for goods or services which are identical or similar to those in respect of which the trademark is registered where such use would result in a likelihood of confusion. In case of the use of an identical sign for identical goods or services, a likelihood of confusion shall be presumed. The rights described above shall not prejudice any existing prior rights, nor shall they affect the possibility of Members making rights available on the basis of use.[5] Dengan  demikian, tindakan pemalsuan merek Pons jelas melanggra ketentuan HAKI dan lebih lanjut tindakan ini pun menimbulkan kerugian bagi konsumen yang mengkonsumsi produk ponds palsu ini.
Dalam kasus pemalsuan tersebut, apabila terbukti si pemalsu merugikan atau membahayakan konsumen yang mengkonsumsi produk palsunya maka konsumen yang bersangkutan tidak akan mendapatkan perlindungan hukum dari UUPK namun ia akan mendapat perlindungan hukum secara tidak langsung dari Undang-Undang Merek yang melindungi si pemegang merek. Dengan kata lain, UUPK mendelegasikan perlindungan konsumen terhadap tindakan pelanggran HAKI yang merugikan konsumen kepada Undang-Undang HAKI yang bersangkutan sehingga perlindungan yang didapatkan oleh konsumen yang dirugikan oleh tindakan pemalsuan merek kosmetik ponds  berasal dari perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 kepada PT. Unilever selaku pemegang merek ‘Ponds’ terdaftar.
Pada kasus pemalsuan merek ponds sebagaimana tersebut di atas, konsumen yang dirugikan tidak dapat mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pelaku usaha (dalam hal ini PT.Unilever) karena ternyata produk yang merimbulkan kerugian tersebut bukanlah produk yang diproduksi oleh PT. Unilever melainkan produk yang diproduksi oleh pelaku usaha lain yang dengan sengaja memalsukan merek ponds. Dengan demikian,akan menjadisangat sulit apabila penyelesaian kasus ini dilakukan dengan menggunakan UUPK. Oleh karena itu,pada masa mendatang diharapkan revisi terhadap UUPK khususnya agar UUPK memberikan pengaturan terhadap tindakan pelanggran HAKI yang merugikan konsumen karena seluruh Undang-Undang tentang HAKIhanya memberikan perlindunan hukum bagi pemegang HAKI yang sebenarnya namun tidak memberikan perlindngan hukum bagi konsumen.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan sebagaimana tersebut diatas maka dapat ditari kesimpulan sebagai berikut:
a.       Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen memiliki dua karakteristik utama yaitu: tidak memberikan pengaturan yang jelas mengenai jenis dan macam barang yang dilindungi sehingga ketentaun ini akan lebih menguntungkan pihak konsumen
b.      Undang_Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen hendak memberikan perlindungan kepada konsumen dengan lebih baik. Indikasi dari hal tersebut terlihat dalam penjelasan Undang-Undang ini yang memberikan pengertian’konsumen’ secara rinci.
c.       Undang-Undang Perlindungan konsumen mendelegasikan penyelesaian megenai hal-hal yang menyangkut pelanggaran HAKI  yang menimbulkan kerugian bagi konsumen kepada UU HAKI ybs. Dalam kasus pemalsuan merek Pons ini, konsumen yang dirigikan akan mendapatkan perlindungan hukum secara tidak langsung dari Undanng-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.
B.       Saran
Berdasarkan pada pembahasan dan analisis singkat mengenai permasalahan-permaslahan tersebut di atas maka penyusun dapat memerikan saran sebagai berikut;
a.       Agar dikemudian hari UUPK dapat direvisi sehingga ketentuna mengenai pelanggaran HAKI yang menimbulkan kerugian bagi konsumen dapat dicover  dalam UUPK sehingga hak-hak konsumen untuk memperoleh keamanan dalam mengkonsumsi barang dan jasa benar-benar terllindungi
b.       Agar aparat penegak hukum dapat lebih meningkatkan law enforcement terhadap ketentaun UUPK agarkerugian yang diderita oleh konsumen dapat dikurangi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Barkatullah,Abdul hakim.2008. Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran.Banjarmasin.FH Unlam Press
Widjaja,Gunawan dkk.2000. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen.PT. Gramedia Pusaka Utama.Jakarta
UNCTAD-ICTSD Project on IPRS and Sustanable Development.2005.Resource Book on TRIPS and Development.Cambridge University Press.USA.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Internet
Produk Ponds Dipalsukan ,http://news.okezone.com/read/2009/06/11/1/228370/unilever-produk-ponds-dipalsukan diakses tanggal 18 Juni 2009 pukul 13.01.

[1] Abdul Halim Barkatullah,2008,Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran,FH Unlam Press,Banjarmasin,hal.5
[2] Unilever : Produk Ponds Dipalsukan ,http://news.okezone.com/read/2009/06/11/1/228370/unilever-produk-ponds-dipalsukan diakses tanggal 18 Juni 2009 pukul 13.01
[3] Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani ,2000,Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,PT. Gramedia Pustaka Utama,Jakrta,hal.9
[4] Idem,hal.9
[5] UNCTAD-ICTSD Project on IPRS and Sustanable Development,2005,Resource Book on TRIPS and Development,Cambridge University Press,USA,page 235.