Kamis, 24 November 2011

Menilik Pengaruh Globalisasi Terhadap Tatanan Hukum di Indonesia (Suatu Kajian Singkat Mengenai Politik Hukum di Indonesia)


Menilik Pengaruh Globalisasi Terhadap Tatanan Hukum di Indonesia
(Suatu Kajian Singkat Mengenai Politik Hukum di Indonesia)[1]
                       
Oleh: Inda Rahadiyan, S.H.[2]

Globalisasi[3] yang menunjuk pada terciptanya satu kesatuan dunia yang bersifat tanpa batas di antara negara/ non borderless telah mempengaruhi hampir seluruh kehidupan manusia. Salah satu di antaranya adalah bidang hukum. Pengaruh globalisasi dalam bidang hukum ini salah satunya dapat dilihat sejak pemerintah Indonesia melakukan ratifikasi terhadap Agremeent Establishing The World Trade Organization (WTO).[4] Ratifikasi terhadap WTO Agreement ini menimbulkan adanya sebuah konsekuensi hukum bahwa Indonesia harus mengharmonisasikan seluruh hukum nasional yang terkait dengan ketentuan-ketentuan dalam WTO.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, bidang-bidang hukum yang harus diharmonisasikan dengan kaidah-kaidah WTO adalah bidang hukum perdagangan, investasi atau penanaman modal serta bidang hukum hak atas kekayaan intelektual.[5] Hal ini sesuai dengan lampiran WTO Agreement sebagaimana terdapat di dalam General Agremeent on Tarif and Trade (GATT), Agreement on Trade Related Investment Measures (TRIMs) dan Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) sebagai perjanjian yang wajib[6] ditaati oleh setiap negara anggota WTO. Upaya pengharmonisasian hukum sebagaimana dimaksud pada tataran selanjutnya telah melahirkan berbagai produk hukum yang dapat dikatakan kurang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia. Pandangan ini dapat dipahami mengingat di satu sisi Indonesia merupakan sebuah negara yang lahir di atas paham komunal sementara kaidah-kaidah dalam WTO merupakan kaidah yang berasal dari corak kehidupan liberal negara maju.
Berbagai produk hukum yang lahir sebagai konsekuensi ratifikasi WTO Agreement tersebut telah menimbulkan pengaruh yang luar biasa bagi kehidupan masyarakat Indonesia terutama di bidang ekonomi. Sebagai contoh; pasca ratifikasi WTO Agreement kemudian pemerintah Indonesia menerbitkan beberapa produk peraturan perundang-undangan terutama di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), bidang penanaman modal serta bidang perdagangan internasional yang dinilai masih belum sesuai dengan kondisi dan jiwa bangsa Indonesia. Dapat dikatakan bahwa berbagai produk hukum di bidang ekonomi ini bersifat liberal bahkan beberapa kalangan[7] menyebutnya sebagai produk hukum yang bercorak kapitalis. Kondisi demikian tentunya memerlukan perhatian bagi seluruh komponen bangsa Indonesia terutama pemerintah agar jangan sampai perkembangan hukum yang demikian dapat menimbulkan timbulnya penjajahan model baru yang barang tentu akan merugikan masyarakat kecil sebagaimana dapat dilihat saat ini. Dengan perkataan lain, globalisasi yang telah memberikan pengaruh  besar terhadap tatanan hukum di Indonesia haruslah dijaga agar jangan sampai menimbulkan kerugian bagi bangsa Indonesia itu sendiri.
Apabila pembahasan mengenai pengaruh globalisasai sebagaimana tersebut di atas kemudian dikaitkan dengan pengkajian Prof. Sardjipto Rahardjo maka dapat dikatakan bahwa kondisi hukum dalam negara Indonesia saat ini menunjukkan adanya suatu kondisi kedaulatan politik yang lebih dominan. Dikatakan demikian oleh karena berbagai produk hukum yang lahir pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik yang dalam hal ini sangat erat dengan bidang ekonomi. Dalam era globalisasi yang ditandai dengan tingginya tingkat perdagangan dunia dan penanaman modal seperti saat ini, seolah telah menjadi rahasia umum mengenai masuknya berbagai pengaruh bisnis ke dalam pembuatan produk- produk hukum dengan menggunakan ‘globalisasi’ sebagai suatu pembenaran mutlak. Kondisi demikian semestinya tidak perlu atau setidaknya dapat diminimalisasi apabila para pemegang kewenangan pembentuk hukum di negeri ini memahami bentuk tatanan hukum nasional yang baik.
Tatanan politik hukum nasional yang baik menurut Prof. Sardjipto Raharjo adalah suatu  tatanan politik hukum yang mampu mengakomodir ketiga tatanan/order. Ketiga order sebagaimana dimaksud adalah transedental order, sociological order serta political order. Yang dimaksud dengan transedental order dalam hal ini adalah suatu order atau tatanan yang bersumber pada hukum yang berasal dari Tuhan termasuk hukum agama dan hukum alam. Menurut transedental order ini, kedaulatan hukum tidak lagi perlu dipermasalahkan oleh karena kedaulatan hukum berada di tangan Tuhan. Sementara itu berdasarkan pada sociological order maka kedaulatan hukum seharusnya dipegang atau berada di tangan rakyat. Hukum dipandang sebagai the living law atau hukum yang hidup bersama dengan kehidupan masyarakat sehingga kedaulatan hukum berada di tangan rakyat. Berbeda dengan kedua order tersebut, di dalam political order hukum dipandang sebagai produk politik. Oleh karena hukum merupakan produk politik maka yang terjadi kemudian adalah adanya supremasi politik terhadap hukum. Apabila dikaitkan dengan negara Indonesia sebagai negara hukum maka hal demikian seharusnya tidak perlu terjadi mengingat Indonesia adalah negara hukum dimana seharusnya hukum menjadi supremasi tertinggi yang mampu mengatur segala aspek kehidupan manusia tak terkecuali bidang politik.
Pengaruh globalisasi dalam tatanan hukum nasional Indonesia yang sedemikian besar tentu tidak dapat dibiarkan begitu saja. Melainkan hal yang demikian perlu diimbangi dengan adanya keinginan kuat dari segenap bangsa Indonesia dalam rangka pembangunan hukum  nasional yang lebih baik. Hal demikian semakin dapat dipahami mengingat globalisasi merupakan suatu  gejala yang tidak dapat ditolak ataupun dihindari oleh negara mana pun yang tidak ingin terkucil dalam percaturan internasional.
Menghadapi kondisi yang demikian, penulis berpendapat bahwa yang dapat dilakukan oleh bangsa Indonesia saat ini adalah melakukan berbagai upaya dalam rangka memaksimalkan daya saing dengan memanfaatkan berbagai pengecualian atau ketentuan-ketentuan khusus dalam hal ini adalah aturan-aturan khusus sebagaimana terdapat di dalam WTO agreement. Dengan perkataan lain, ketentuan-ketentuan dalam WTO agreement tidaklah bersifat mutlak bagi seluruh anggotanya melainkan masih terdapat keringanan atau perlakukan khusus bagi kelompok negara berkembang dan negara terbelakang. Sebagai contoh misalnya pemberlakuan prinsip Most Favoured Nation (MFN)[8] yang oleh sebagian kalangan dirasa tidak adil sebenarnya memiliki pengecualian berlakunya bagi negara-negara berkembang[9]. Dengan demikian, tidaklah bijak kiranya apabila terdapat sebagian kalangan yang menempatkan pemerintah Indonesia sebagai pihak yang bersalah atau keliru dalam tindakan ratifikasi terhadap WTO Agreement sebagai pintu masuk bagi arus globalisasi yang nyata di negeri ini. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana bangsa Indonesia mampu terus memperbaiki diri terutama berkaitan dengan pembangunan hukum nasional agar mampu menjadi hukum nasional yang ideal sebagaimana menurut Prof. Sartjipto Raharjo adalah suatu tatanan hukum yang di dalamnya mencakup transedental order, sociological order serta political order. Dengan demikian, apabila pembangunan hukum nasional telah di arahkan kepada pembangunan hukum yang ideal maka hukum dapat menjadi instrumen dalam rangka mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Namun demikian, political will dari pemerintah merupakan modal utama bagi terwujudnya pembangunan hukum nasional yang demikian.






Sumber Bacaan
1.      Bahan Kuliah Politik Hukum, Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 2011 oleh Prof. Sudjito Bin Atmoredjo
2.      Peter Van Den Bosch. The Law and Policy of the World Trade Organization; Text, Cases and Materials. Cambridge University Press. 2005
3.      Ahmad Zein Umar Purba. Hak Atas Kekayaan Intelektual Pasca Agreement On Trade Related Intelectual Property Rights (TRIPs). UI Press. 2003
4.      Turiman. Memahami Hukum Progresif Prof Satjipto Rahardjo Dalam Paradigma ‘Tawaf’ (Sebuah Kontemplasi Bagaimana Mewujudkan Teori Hukum Yang Membumi/ Grounded Theory Meng- Indonesia), http://eprints.undip.ac.id/3222/2/Paradigma_Hukum_Progresif_Prof_Satjipto_Rahardjo.pdf










[1] Tulisan ini merupakan pengembangan dari materi perkuliahan dan diskusi dalam perkuliahan Politik Hukum, Magister Ilmu Hukum, Falkultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 2011.
[2] Penulis merupakan mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada sekaligus peneliti dari Fakultas Hukum UGM yang tengah dalam proses proyeksi sebagai Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
[3] Dalam sebuah buku International Economic Raltions by John H. Jackson, Globalisasi ini  terutama ditandai oleh dua hal yaitu high level of international trade (tingkat perdagangan internasional yang tinggi) dan foreign direct investment (penanaman modal asing secara langsung).
[4] Ratifikasi terhadap WTO agreement dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994.
[5] Hal ini sesuai dengan ketentuan Annex 1A Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO) mengenai Multilateral Agreements on Trade in Goods pada bagian 6 yaitu Agreement on Trade Related investment Measures (TRIMs), Annex 1C mengenai General Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs).
[6] Dalam WTO Agreement terdapat jenis-jenis perjanjian yang berlaku secara langsung dan otomatis bagi setiap negara yang menjadi member WTO yaitu ketentuan-ketentuan sebagaimana terdapat dalam GATT yang menyangkut TRIMs dan TRIPs.
[7] Kalangan ekstrimis dalam hal ini seringkali menyuarakan berbagai hal sebagai model penentang terhadap keikutsertaan Indonesia dalam keanggotaan WTO.
[8] Sebagai bagian dari non discrimination principle, Most Favoured Nations pada intinya adalah ‘againts country from discriminating the others countries’. Hal ini berarti bahwa setiap anggota WTO harus memberikan perlakuan yang sama kepada seluruh anggota WTO. Hal ini menimbulkan suatu konsekuensi yuridis bahwa pada hakikatnya pemberian suatu perlakuan ‘khusus atau istimewa’ dari salah satu anggota WTO mengakibatkan kewajiban untuk memberlakukan hal yang sama kepada seluruh anggota WTO yang lain secara automatically and unconditionally. Baca: Peter Van Den Bosche, The Law and Principles of The World Trade Organization. Text, Cases and materials.
[9] Pengecualian ini dikenal dengan istilah ‘Generalized System Procedures (GSP)’.

Senin, 14 November 2011

Analisis dan Perbandingan Beberapa Peraturan Perundang-Undangan Bidang Penanaman Modal di Indonesia (Bagian I)

Perbandingan kepemilikan saham  PMA dalam UUPMA 1994 dengan PP No.20 Tahun 1994

oleh: Inda Rahadiyan, S.H.
Pembanding
UUPMA 1994
PP No.20 Tahun 1994
Kepemilikan
100% saham oleh pihak asing
Kepemilikan pihak asing sebesar 100% saham DILARANG kecuali pada PMA yang beroperasi di daerah-daerah terpencil
Kepemilikan pihal asing sebesar 100% saham diperbolehkan KECUALI pada bidang-bidang usaha infrastruktur
Ketentuan divestasi
Dalam jangka waktu 20 tahun kepemilikan modal oleh pihak asing dalam PMA harus mencapai 51%


Dalam jangka waktu 15 tahun kepemilikan saham oleh pihak lokal harus mencapai jumlah minimal 5%
Pengalihan saham saham tidak harus dilakukan dengan divestasi
Ketentaun jumlah minimal investasi
Status hukum pihak asing
Jumlah nilai investasi berkisar antara 250.000 sampai dengan 1 juta US$
Harus badan hukum
Tidak ditentukan batasan minimal
Sesuai dengan kelayakan dan kewajaran
Dapat juga perorangan
Tidak ada kewajiban berstatus sebagai badan hukum
Status hukum pihak lokal
Kemungkinan pendirian anak perusahaan
Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia
Tidak dimungkinkan
Diperbolehkan PMA KECUALI pada bidang-bidang infrastruktu
Dimungkinkan dengan syarat bahwa PMA telah melakukan kegiatan operasional yang bersifat komersial
Jangka waktu pendirian
Untuk jangka waktu 30 tahun
Mengenai perpanjangan tidak diatur secara jelas
Untuk jangka waktu 30 tahun setelah PMA melakukan kegiatan komersial
Dapat diperpanjang untuk jangka waktu 30 tahun
Pendirian Joint Venture
Jumlah minimal modal yang dimiliki oleh pihak lokal harus mencapai 20% dari modal dasar
Jumlah minimal modal yang harus dimiliki oleh pihak lokal harus mencapai 5% dari jumlah modal disetor

1)      Perbandingan antara UUPMA 1967 dan UUPM 2007



UUPM 1967
UUPM 2007
1.

Tidak mengatur tentang kandungan local content


Mengatur tentang kandungan local content; penggunaan local content disarankan meskipun tidak diharuskan
(diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007)
2.

Pemberian HGU, HGB serta Hak Pakai terbatas


Memberikan pengaturan yang berbeda, sebagai berikut:
·         HGU dapat diberikan untuk jangka waktu 60 tahun pada saat awal pemberian
·         HGB dapat diberikan untuk jangka waktu 50 tahun pada saat pemberian awal
·         Hak Pakai dapat diberikan untuk jangka waktu 45 tahun pada saat pemberian awal
(diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007)
3.

Hanya berlaku bagi penanaman
modal Asing



Berlaku baik bagi penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri. Secara umum undang-undang ini menganut prinsip national treatment (diatur dalam Pasal 4 ayat huruf a Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007)
4.

Prinsip MFN tidak dianut
secara jelas
Menganut prinsip MFN secara jelas
(baca Pasal 3 ayat 1 huruf d dan Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
5.

Terdapat pengaturan mengenai bidang-bidang usaha tertentu  yang harus dilakukan melalui bentuk usaha patungan (joint venture)
Pengaturan mengenai bidang-bidang usaha tertentu yang harus dilakukan melalui joint venture diserahkan kepada presiden (baca Pasal 12 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007)
6.

Ganti rugi atas terjadinya tindakan nasionalisasi berdasarkan pada kesepakatan antara para pihak sesuai dengan asas hukum internasional

Ganti rugi atas terjadinya tindakan nasionalisasi dilakukan dengan oleh pemerintah dengan berdasarkan pada harga pasar. (baca Penjelasan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
7.

Tidak ada pengaturan mengenai prinsip GCG
Prinsip GCG diatur dalam pasal 15
8.

Pengaturan mengenai insentif dilakukan secara umum
Pengaturan mengenai insentif bersyarat
9.

Penyelesaian sengketa dilakukan melalui arbitrase
Penyelesaian sengketa dengan mendahulukan ADR sebelum melalui arbitrase
10.

Tidak dikenal one stop service dalam   Menggunakan one stop service (pasal 1, 26)
Mekanisme perizinan


Salah satu perkembangan pengaturan yang dinilai positif dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal adalah dengan adanya pengaturan tentang prinsip MFN dan National Treatment.
Ada pun pengaturan terhadap kedua prinsip tersebut dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal atau yang lebih dikenal dengan UUPMA 2007 adalah sebagai berikut:
a)      National Treatment dalam UUPM 2007
1)      Terdapat dalam pasal 4 ayat (2) huruf a yang menentukan;
‘Dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah:
a.       Memberikan perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional
NAMUN DEMIKIAN
Pengaturan pasal tersebut dinilai tidak konsisten karena dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa ‘kecuali ditentukan lain dengan peraturan perundang-undangan’. Dengan perkataan lain, penjelasan Pasal 4 ayat (2) huruf a inkonsisten dengan Pasal 4 ayat (2) itu sendiri. Selain itu, ketentuan mengenai bentuk badan hukum penanaman modal juga merupakan salah satu hal yang patut dikaji terkait dengan prinsip National Treatment dalam UUPMA 2007.
Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) menentukan bahwa:
a.       Bentuk badan hukum untuk perusahaan penanaman modal asing harus dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT) sementara untuk perusahaan penanaman modal dalam negeri tidak diharuskan dalam bentuk PT.
Ketentuan yang mengharuskan bentuk badan hukum perusahaan PMA berupa PT sebagaimana tersebut dapat dipahami mengingat pemerintrah akan lebih mudah melaksanakan fungsi control terhadap suatu badan usaha yang berbentuk PT.
Masih berkaitan dengan Prinsip National Treatment dalam UUPMA 2007, penerapan prinsip tersebut mendapatkan pengaruh secara langsung dari ketentuan Trade Related Investment Measures (TRIMS) padahal TRIMS pada dasarnya hanya mengatur tentang kebijakan investasi yang berkaitan erat dengan arus barang. Dengan perkataan lain, penerapan prinsip National Treatment dalam UUPMA sebaiknya tidak hanya mendasarkan pada TRIMs tetapi juga dari berbagai instrumen hukum lain yang terkandung dalam perjanjian WTO. Hal ini dimaksudkan agar penerapan kebijakan investasi dalam negeri Indonesia menjadi lebih jelas dan tepat aturan.
Pengaturan mengenai prinsip National Treatment dalam UUPMA 2007 tidak hanya terpengaruh oleh TRIMs tetapi juga terpengaruh oleh ketentuan Art XVII (1) GATS yang menyatakan:
‘In the sectors inscribed in its schedule and subject to any conditions and qualifications set out therein, each member shall accord to service and service suppliers of any other member, in respect of all measures affecting the supply of services, treatment no less favourable than that it accords to its own like services and service suppliers.’
b)      Most Favoured Nations dalam UUPM 2007
Terdapat dalam Pasal 6 UUPM 2007
Pasal ini memberikan pengaturan mengenai penerapan Prinsip MFN sebagai berikut;
(1)   Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara lain yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
(2)   Perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi penanam modal yang berasal dari negara yang memperoleh hak istimewa berdasarkan perjanjian dengan Indonesia.
Berdasarkan pada Pasal 6 ayat (1) dan (2) UUPM 2007 sebagaimana tersebut di atas maka UUPM 2007 menganut Prinsip MFN dengan pengecualian. Sementara itu berkaitan dengan keberadaan perjanjian bilateral antara Indonesia dengan negara lain maka pelaksanaan perjanjian bilateral tersebut tidak serta merta mengecualikan pelaksanaan prinsip MFN.
1.       Pengaturan Hukum Penanaman Modal di Indonesia dalam Berbagai Undang-Undang (1967 sampai dengan 2007)
1)   Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing
Berikut ini adalah beberapa materi muatan penting dalam undang-undang tersebut:
a.   Definisi yuridis tentang penanaman modal asing
                            Pasal 1 angka 1
INA
Yang dimaksud dengan penanaman modal asing dalam undang-undang ini hanyalah meliputi penanaman modal asing secara langsung yang dilakukan menurut atau berdasarkan undang-undang ini yang digunakan untuk  menjalankan perusahaan di Indonesia, dalam arti bahwa penanam modal menanggung risiko secara langsung dari penanaman modal tersebut.
ENG
Investment on this law denotes only direct investment of foreign capital made in accordance with or based upon the provision of this law for the purposes of carrying on the enterprise in Indonesia with the understanding that the owner of the capital directly bears the risk of investment.
Ø  Regulating on FDI
Ø  Through enterprise that build and operate in Indonesia
b.      Modal asing
Pasal 2
INA
Modal asing meliputi:
-          Alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian dari kekayaan devisa Indonesia, yang dengan persetujuan pemerintah digunakan untuk pembiayaan perusahaan di Indonesia
-          Alat-alat untuk perusahaan termasuk penemuan-penemuan baru milik orang asing dan bahan-bahan yang dimasukkan dari luar ke dalam wilayah Indonesia selama alat-alat tersebut tidak dibiayai dari kekayaan devisa Indonesia.
-          Bagian dari hasil perusahaan yang berdasarkan undang-undang ini diperkenankan ditransfer tetapi digunakan untuk membiayai perusahaan di Indonesia

ENG
Art. 2
Foreign investment on this law means:
-          Foreign exchange which does not form a part of the foreign exchange resources of Indonesia, and which with the approval of the Government is utilized for finance an enterprise in Indonesia.
-          Equipment for an enterprise, including rights to - technological development and materials imported into Indonesia, provided the said equipment is not financed from Indonesia foreign exchange resources.
-          That part of the profits which in accordance with this Law is permitted to the transferred, but instead is utilized to finance an enterprise in Indonesia.
Con:
-          An enterprise as intended by this law, which is operated wholly or for the greater part in Indonesia as a separate business unit, must be a legal entity organized under Indonesian Law and have domicile in Indonesia.
-          This law does not regulated about portofolio investment/ indirect investment
c.       Local content
Pasal 10
INA
-          Perusahaan-perusahaan modal asing wajib memenuhi kebutuhan tenaga kerja dengan warga negara Indonesia kecuali untuk jabatan-jabatan tertentu
ENG
-          Foreign capital enterprise as discussed above have to require the Indonesian manpower. Exeption in article 11 of this law
d.      Insetive on taxation and the other levies
Art 15
Insentive with conditional

2)      Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
The Law Number 6 Years of 1968 Concerning Domestic Investment
a.       Definisi modal dalam negeri
INA
Pasal 1 ayat (1)
Yang dimaksud dengan modal dalam negeri adalah bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia, termasuk hak-hak dan benda-benda baik yang dimiliki oleh negara maupun swasta nasional atau swasta asing yang berdomisili di Indonesia yang disisihkan/disediakan untuk menjalankan suatu usaha sepanjang modal tersebut tidak diatur oleh ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing
Pasal 1 ayat (2)
Pihak swasta yang memiliki modal dalam negeri dapat terdiri atas perorangan dan/atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia
b.      Definisi penanaman modal dalam negeri
Penggunaan daripada kekayaan seperti tersebut dalam pasal 1, baik secara langsung atau tidak langsung untuk menjalankan usaha menurut atau berdasarkan ketentuanketentuan Undang-Undang ini.
ENG
a.       The devinition of  Domestic Capital and Domestic Investment
Art 1 (1) Domestic Capital
Portion of the property of Indonesia society, including rights and goods, owner either by the State or by National Private for Foreign Private domiciled in Indonesia, which has been reserved OR made available for the operation of an enterprise insofar as such capital is not governed by the provisions of article 2 of Law No. 1 of 1967 Concerning Foreign Capital Investment.

Art 1 (2)
Private enterprises in possession of domestic investment as referred to in domestic investment as referred to in section (1) of this article may be individuals and/or legal entitles established under laws prevailing in Indonesia.

Art. 2 Domestic Investment
Domestic Investment on this law is the use of property as referred to in article 1, either directly or indirectly for the operation of a business in accordance with of based upon the provisions of this Law.
3)      Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 Tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing
Law Number 11 of 1970 Concerning Amandement and Supplement to Law Number 1 of 1967 Concerning Foreign Investment