Kamis, 24 November 2011

Menilik Pengaruh Globalisasi Terhadap Tatanan Hukum di Indonesia (Suatu Kajian Singkat Mengenai Politik Hukum di Indonesia)


Menilik Pengaruh Globalisasi Terhadap Tatanan Hukum di Indonesia
(Suatu Kajian Singkat Mengenai Politik Hukum di Indonesia)[1]
                       
Oleh: Inda Rahadiyan, S.H.[2]

Globalisasi[3] yang menunjuk pada terciptanya satu kesatuan dunia yang bersifat tanpa batas di antara negara/ non borderless telah mempengaruhi hampir seluruh kehidupan manusia. Salah satu di antaranya adalah bidang hukum. Pengaruh globalisasi dalam bidang hukum ini salah satunya dapat dilihat sejak pemerintah Indonesia melakukan ratifikasi terhadap Agremeent Establishing The World Trade Organization (WTO).[4] Ratifikasi terhadap WTO Agreement ini menimbulkan adanya sebuah konsekuensi hukum bahwa Indonesia harus mengharmonisasikan seluruh hukum nasional yang terkait dengan ketentuan-ketentuan dalam WTO.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, bidang-bidang hukum yang harus diharmonisasikan dengan kaidah-kaidah WTO adalah bidang hukum perdagangan, investasi atau penanaman modal serta bidang hukum hak atas kekayaan intelektual.[5] Hal ini sesuai dengan lampiran WTO Agreement sebagaimana terdapat di dalam General Agremeent on Tarif and Trade (GATT), Agreement on Trade Related Investment Measures (TRIMs) dan Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) sebagai perjanjian yang wajib[6] ditaati oleh setiap negara anggota WTO. Upaya pengharmonisasian hukum sebagaimana dimaksud pada tataran selanjutnya telah melahirkan berbagai produk hukum yang dapat dikatakan kurang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia. Pandangan ini dapat dipahami mengingat di satu sisi Indonesia merupakan sebuah negara yang lahir di atas paham komunal sementara kaidah-kaidah dalam WTO merupakan kaidah yang berasal dari corak kehidupan liberal negara maju.
Berbagai produk hukum yang lahir sebagai konsekuensi ratifikasi WTO Agreement tersebut telah menimbulkan pengaruh yang luar biasa bagi kehidupan masyarakat Indonesia terutama di bidang ekonomi. Sebagai contoh; pasca ratifikasi WTO Agreement kemudian pemerintah Indonesia menerbitkan beberapa produk peraturan perundang-undangan terutama di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), bidang penanaman modal serta bidang perdagangan internasional yang dinilai masih belum sesuai dengan kondisi dan jiwa bangsa Indonesia. Dapat dikatakan bahwa berbagai produk hukum di bidang ekonomi ini bersifat liberal bahkan beberapa kalangan[7] menyebutnya sebagai produk hukum yang bercorak kapitalis. Kondisi demikian tentunya memerlukan perhatian bagi seluruh komponen bangsa Indonesia terutama pemerintah agar jangan sampai perkembangan hukum yang demikian dapat menimbulkan timbulnya penjajahan model baru yang barang tentu akan merugikan masyarakat kecil sebagaimana dapat dilihat saat ini. Dengan perkataan lain, globalisasi yang telah memberikan pengaruh  besar terhadap tatanan hukum di Indonesia haruslah dijaga agar jangan sampai menimbulkan kerugian bagi bangsa Indonesia itu sendiri.
Apabila pembahasan mengenai pengaruh globalisasai sebagaimana tersebut di atas kemudian dikaitkan dengan pengkajian Prof. Sardjipto Rahardjo maka dapat dikatakan bahwa kondisi hukum dalam negara Indonesia saat ini menunjukkan adanya suatu kondisi kedaulatan politik yang lebih dominan. Dikatakan demikian oleh karena berbagai produk hukum yang lahir pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik yang dalam hal ini sangat erat dengan bidang ekonomi. Dalam era globalisasi yang ditandai dengan tingginya tingkat perdagangan dunia dan penanaman modal seperti saat ini, seolah telah menjadi rahasia umum mengenai masuknya berbagai pengaruh bisnis ke dalam pembuatan produk- produk hukum dengan menggunakan ‘globalisasi’ sebagai suatu pembenaran mutlak. Kondisi demikian semestinya tidak perlu atau setidaknya dapat diminimalisasi apabila para pemegang kewenangan pembentuk hukum di negeri ini memahami bentuk tatanan hukum nasional yang baik.
Tatanan politik hukum nasional yang baik menurut Prof. Sardjipto Raharjo adalah suatu  tatanan politik hukum yang mampu mengakomodir ketiga tatanan/order. Ketiga order sebagaimana dimaksud adalah transedental order, sociological order serta political order. Yang dimaksud dengan transedental order dalam hal ini adalah suatu order atau tatanan yang bersumber pada hukum yang berasal dari Tuhan termasuk hukum agama dan hukum alam. Menurut transedental order ini, kedaulatan hukum tidak lagi perlu dipermasalahkan oleh karena kedaulatan hukum berada di tangan Tuhan. Sementara itu berdasarkan pada sociological order maka kedaulatan hukum seharusnya dipegang atau berada di tangan rakyat. Hukum dipandang sebagai the living law atau hukum yang hidup bersama dengan kehidupan masyarakat sehingga kedaulatan hukum berada di tangan rakyat. Berbeda dengan kedua order tersebut, di dalam political order hukum dipandang sebagai produk politik. Oleh karena hukum merupakan produk politik maka yang terjadi kemudian adalah adanya supremasi politik terhadap hukum. Apabila dikaitkan dengan negara Indonesia sebagai negara hukum maka hal demikian seharusnya tidak perlu terjadi mengingat Indonesia adalah negara hukum dimana seharusnya hukum menjadi supremasi tertinggi yang mampu mengatur segala aspek kehidupan manusia tak terkecuali bidang politik.
Pengaruh globalisasi dalam tatanan hukum nasional Indonesia yang sedemikian besar tentu tidak dapat dibiarkan begitu saja. Melainkan hal yang demikian perlu diimbangi dengan adanya keinginan kuat dari segenap bangsa Indonesia dalam rangka pembangunan hukum  nasional yang lebih baik. Hal demikian semakin dapat dipahami mengingat globalisasi merupakan suatu  gejala yang tidak dapat ditolak ataupun dihindari oleh negara mana pun yang tidak ingin terkucil dalam percaturan internasional.
Menghadapi kondisi yang demikian, penulis berpendapat bahwa yang dapat dilakukan oleh bangsa Indonesia saat ini adalah melakukan berbagai upaya dalam rangka memaksimalkan daya saing dengan memanfaatkan berbagai pengecualian atau ketentuan-ketentuan khusus dalam hal ini adalah aturan-aturan khusus sebagaimana terdapat di dalam WTO agreement. Dengan perkataan lain, ketentuan-ketentuan dalam WTO agreement tidaklah bersifat mutlak bagi seluruh anggotanya melainkan masih terdapat keringanan atau perlakukan khusus bagi kelompok negara berkembang dan negara terbelakang. Sebagai contoh misalnya pemberlakuan prinsip Most Favoured Nation (MFN)[8] yang oleh sebagian kalangan dirasa tidak adil sebenarnya memiliki pengecualian berlakunya bagi negara-negara berkembang[9]. Dengan demikian, tidaklah bijak kiranya apabila terdapat sebagian kalangan yang menempatkan pemerintah Indonesia sebagai pihak yang bersalah atau keliru dalam tindakan ratifikasi terhadap WTO Agreement sebagai pintu masuk bagi arus globalisasi yang nyata di negeri ini. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana bangsa Indonesia mampu terus memperbaiki diri terutama berkaitan dengan pembangunan hukum nasional agar mampu menjadi hukum nasional yang ideal sebagaimana menurut Prof. Sartjipto Raharjo adalah suatu tatanan hukum yang di dalamnya mencakup transedental order, sociological order serta political order. Dengan demikian, apabila pembangunan hukum nasional telah di arahkan kepada pembangunan hukum yang ideal maka hukum dapat menjadi instrumen dalam rangka mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Namun demikian, political will dari pemerintah merupakan modal utama bagi terwujudnya pembangunan hukum nasional yang demikian.






Sumber Bacaan
1.      Bahan Kuliah Politik Hukum, Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 2011 oleh Prof. Sudjito Bin Atmoredjo
2.      Peter Van Den Bosch. The Law and Policy of the World Trade Organization; Text, Cases and Materials. Cambridge University Press. 2005
3.      Ahmad Zein Umar Purba. Hak Atas Kekayaan Intelektual Pasca Agreement On Trade Related Intelectual Property Rights (TRIPs). UI Press. 2003
4.      Turiman. Memahami Hukum Progresif Prof Satjipto Rahardjo Dalam Paradigma ‘Tawaf’ (Sebuah Kontemplasi Bagaimana Mewujudkan Teori Hukum Yang Membumi/ Grounded Theory Meng- Indonesia), http://eprints.undip.ac.id/3222/2/Paradigma_Hukum_Progresif_Prof_Satjipto_Rahardjo.pdf










[1] Tulisan ini merupakan pengembangan dari materi perkuliahan dan diskusi dalam perkuliahan Politik Hukum, Magister Ilmu Hukum, Falkultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 2011.
[2] Penulis merupakan mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada sekaligus peneliti dari Fakultas Hukum UGM yang tengah dalam proses proyeksi sebagai Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
[3] Dalam sebuah buku International Economic Raltions by John H. Jackson, Globalisasi ini  terutama ditandai oleh dua hal yaitu high level of international trade (tingkat perdagangan internasional yang tinggi) dan foreign direct investment (penanaman modal asing secara langsung).
[4] Ratifikasi terhadap WTO agreement dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994.
[5] Hal ini sesuai dengan ketentuan Annex 1A Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO) mengenai Multilateral Agreements on Trade in Goods pada bagian 6 yaitu Agreement on Trade Related investment Measures (TRIMs), Annex 1C mengenai General Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs).
[6] Dalam WTO Agreement terdapat jenis-jenis perjanjian yang berlaku secara langsung dan otomatis bagi setiap negara yang menjadi member WTO yaitu ketentuan-ketentuan sebagaimana terdapat dalam GATT yang menyangkut TRIMs dan TRIPs.
[7] Kalangan ekstrimis dalam hal ini seringkali menyuarakan berbagai hal sebagai model penentang terhadap keikutsertaan Indonesia dalam keanggotaan WTO.
[8] Sebagai bagian dari non discrimination principle, Most Favoured Nations pada intinya adalah ‘againts country from discriminating the others countries’. Hal ini berarti bahwa setiap anggota WTO harus memberikan perlakuan yang sama kepada seluruh anggota WTO. Hal ini menimbulkan suatu konsekuensi yuridis bahwa pada hakikatnya pemberian suatu perlakuan ‘khusus atau istimewa’ dari salah satu anggota WTO mengakibatkan kewajiban untuk memberlakukan hal yang sama kepada seluruh anggota WTO yang lain secara automatically and unconditionally. Baca: Peter Van Den Bosche, The Law and Principles of The World Trade Organization. Text, Cases and materials.
[9] Pengecualian ini dikenal dengan istilah ‘Generalized System Procedures (GSP)’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar