Senin, 14 November 2011

Kendala-Kendala Birokrasi Yang Menyebabkan Belum Berkembangnya Iklim Investasi di Indonesia

Kendala-Kendala Birokrasi Yang Menyebabkan Belum Berkembangnya Iklim Investasi di Indonesia[1]
                
                                                                Oleh: Inda Rahadiyan


                                                                               
A. Latar Belakang
Perkembangan investasi di Indonesia sangat tergantung pada beberapa faktor di antaranya adalah fakor birokrasi. Suatu daerah yang memiliki sumber kekayaan alam berlimpah belum tentu secara serta merta dapat menarik minat investor untuk menanamkan modalnya di daerah tersebut demikian juga sebalinya. Laporan World Investment Report yang dirilis setiap tahunnya menunjukkan adanya suatu falta bahwa investor lebih tertarik untuk melakukan penanaman modal di negara yang telah memiliki kemapanan sistem pelayanan dan jaminan kepastian hukum bagi pelaksanaan kegiatan investasi.[2]
Berkaitan dengan hal tersebut, berdasarkan Laporan Hasil Studi Working Group of The Capitals Market Consultative Group yang dilakukan pada tahun 2003 menunjukkan bahwa motivasi investor dalam melakukan kegiatan penanaman modal sangat ditentukan oleh enam (6) faktor yang meliputi:
                   1.         Kondisi politk dan keamanan stabil;
                   2.         Tata kelola pemerintahan dan sistem pencegahan korupsi;
                   3.         Legal framework dan rule of law;
                   4.         Pangsa pasar dan prospek pertumbuhan ekonomi;
                   5.         Upah tenaga kerja yang sebanding dengan tingkat produktivitas (wedge adjusted productivity of labor);
                   6.         Ketersediaan infrastruktur yang memadai[3]

Sebagaimana uraian di atas, Legal framework dan rule of law merupakan salah satu faktor penentu bagi investor dalam melakukan kegiatan investasi. Legal framework dan rule of law pada tataran selanjutnya akan menciptakan kepastian hukum yang mencakup; perlindungan hukum, keseimbangan dan keadilan.[4] Kepastian hukum dalam hal pelayanan terutama di daerah mencakup persyaratan, biaya dan waktu pelayanan. Berkaitan dengan permasalahan mengenai pelayanan di Indonesia, meskipun telah tersedia berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan mengenai birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan investasi namun faka menunjukkan bahwa pelaksanaan/ implementasi atas berbagai peraturan dan kebijakan tersebut bersifat variatif tergantung pada kondisi dan kemampuan pemerintah masing-masing daerah.[5]

B. Kendala-Kendala Biriokrasi yang Menghambat Tumbuhnya Iklim Investasi di Daerah
Secara umum penyelenggaraan pelayanan investasi di daerah masih menghadapi berbagai kendala birokrasi, baik menyangkut sistem perizinan, kebijakan serta kendala kelembagaan.
1. Kendala Perizinan
Permasalahan mengenai rumitnya struktur perizinan usaha atau investasi di Indonesia secara umum disebabkan oleh dua faktor:
a.       Banyaknya jenis perizinan yang mengakibatkan tumpang tindih dalam pelasanaan. Kondisi ini diakibatkan oleh adanya berbagai regulasi teruama di level undang-undang yang masing-masing melahirkan berbagai jenis perizinan yang berbeda.
b.      Fungsi perizinan belum sepenuhnya dirumuskan untuk meningkatkan perekonomian, memberikan keabsahan penyelenggaraan usaha, pemberian perlindungan sosial, media kontrol terhadap pasar serta sebagai bahan pembuatan kebijakan publik
Dalam penyelengaraan sistem pemerintahan di Indonesia, dikenal adanya berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum bagi departemen beserta instansi pemerintah yang lain dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Salah satu di antara peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud adalah undang-undang baik yang bersifat umum maupun sektoral. Undang-undang sektoral memiliki materi muatan yang bersifat khusus/spesifik berkaitan dengan tugas dan fungsi dari masing-masing departemen/instansi pemerintah terutama dalam berbagai sistem perizinan. Bertambahnya jumlah undang-undang sektoral menyebabkan kian bertambah pula jenis perizinan yang dilahirkannya.[6]

Dalam kaitannya dengan bidang kegiatan investasi, undang-undang yang melahirkan perizinan antara lain adalah sebagai berikut:
1)        Undang-Undang Izin Gangguan atau HO (Stbl. 1926 Nomor 226 yang diubah dengan Stbl. 1940 Nomor 450). Undang-undang ini melahirkan izin gangguan yang masih berlaku hingga saat ini.
2)        Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Usaha Jasa Konstruksi melahirkan beberapa perzinan yang berkaitan dengan usaha jasa konstruksi.
3)        Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan melahirkan berbagai perizinan tentang pemanfaatan hutan.
4)        Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perindustrian melahirkan Izin Usaha Industri (IUI)
5)        Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung melahirkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
6)        Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal melahirkan berbagai perizinan di bidang penanaman modal serta sebagai dasar bagi para investor dalam rangka memperleh fasilitas penanaman modal.[7]
Beberapa undang-undang ersebut merupakan sebagian kecil dari berbagai undang-undang yang melahirkan perizinan dalam kaitannya dengan penanaman modal di Indonesia.
Berkaitan dengan masalah perizinan, hasil studi Lembaga Administrasi Negara pada tahun 1978 mengelompokkan perizinan yang diperlukan oleh investor menjadi empat (4) kelompok yang meliputi; perizinan hak atas tanah, perizinan bangunan dan perlengkapan, perizinan usaha, perizinan tenaga kerja. Berdasarkan pengelompokan tersebut, setiap oran atau badan usaha yang bermaksud menjalankan usahanya diwajibkan memiliki perizinan yang antara lain:
1)      Hak atas tanah guna usaha dari Badan Pertanahan Nasional.
2)      Izin lokasi
3)      Izin bangunan
4)      Izin prinsip
5)      Izin tempat usaha
6)      Izin tetap di Bidang industri
7)      Izin usaha pabrik farmasi
8)      Izin pendirian rumah sakit
9)      Izin usaha perdagangan
10)  Izin usaha perhotelan dan biro perjalanan
Sementara itu berkaitan dengan perubahan sistem politik di Indonesia dengan adanya desentralisasi dan otnomi daerah turut pula mengubah kewenangan pemerintah yang pada awalnya dilaksanakan oleh pemerintah pusat kemudian dilaksanakan oleh pemerintah daerah termasuk kewenangan yan berkaitan dengan kegiatan investasi. Pada satu sisi desentralisasi bertujuan untuk mempercepat pembangunan di daerah antara lain melalui pemberian pelayanan yang cepat namun pada sisi lain desentralisasi  turut membawa implikasi pada semakin banyaknya peraturan daerah yang diterbitkan dengan tujuan untuk meningkatkan pungutan dan retribusi melalui sistem perizinan.[8]
Sebagai contoh, sebuah penelitian yang dilakukan oleh The Asian Foundation menyatakan bahwa jmlah perizinan yang diterbikan oleh emapt (4) kabupaten yaitu Bogor, Bekasi, Bandung dan Sidoarjo mengalami peningkatan sebesar tiga ratus (300) persen dari rata-rata sekitar 10.000 izin pada tahun 1999 menjadi rata-rata 30.000 izin pada tahun 2003. Berdasarkan uraian tersebut di atas, nampak bahwa perizinan merupaka salah satu kendala bagi kegiatan penanaman modal di Indonesia.

2. Kendala Kebijakan
Yang dimaksud dengan kendala kebijakan dalam hal ini mencakup baik kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya yang kemudian dicabut maupun kebijakan yang belum dapat dilaksanakan karena petunjuk pelaksanaannya belum terbit. Berikut ini adalah beberapa contoh kendala kebijakan sebagaimana dimaksud:
1)      Surat Keputusan Kepala BKPM Nomor 58 Tahun 2004 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Investasi/ Kepala BKPM Nomor: 37/SK/1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pelaksanaan Penanaman Modal kepada Pemerintah Provinsi. Surat keputusan ini pada prakteknya menjadi tumpang tinding dengan Keputusan Presiden Nomor 117 Tahun 1999 Tata Cara Penanaman Modal karena belum dicabutnya ketentan pasal 1 A yang menyatakan bahwa ‘ kewenangan pemberian perizinan pelaksanaan penanaman modal untuk permohonan penanaman modal dalam rangka penanaman modal dalam negeri dapat dilimpahkan kepada Gubernur Kepala Daerah Provinsi.
2)      Hubungan koordinasi di antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam pelaksanaan kebijakan dalam rangka peningkatan iklim investasi dirasa masih lemah.
3)      Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 dalam hal yang menyangkut urusa investasi belum dapat diaplikasikan secara efektif karea belum tersedianya Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) sebagaimana diamanakan oleh pasal 9 peraturan pemerintah tersebut.
4)      Pengaturan mengenai hak atas tanah dalam Pasal 21 dan 22 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal tidak sejalan dengan pengaturan yang terdapat dalam Pasal 22 sampai dengan Paal 49 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

3. Kendala Kelembagaan
Sejak kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah diberlakukan, terdapat tiga (tiga) peraturan yang diterbitkan dan berdampak pada kendala kelembagaan di daerah, yaitu: [9]
1)      Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 Tentang Organisasi Perangkat Daerah. Beerdasarkan peraturan pemerintah ini, pemerintah daerah diberi kewenangan untuk  menentuka jumlah dinas, badan dan kantor di lingkungan daerah. Sebagai akibat dari ktentuan ini maka jumlah organisasi daerah semakin bertambah banyak.
2)      Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah yang membatasi kewenangan Kabupaten/Kota. Peraturan Pemerintah ini menentukan bahwa pemerintah kabupaten/kota hanya boleh membentuk maksimal sejumlah 14 dinas. Ketentuan ini berakibat pada banyaknya kepentingan departemen pusat yang tidak terakomodasi oleh daerah. Selain itu, perampingan jumlah dinas memicu timbulnya konflik internal karena banyak birokrat daerah yang kehilangan jabatan.
3)      Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah beserta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 58 Tahun 2007 sebagai petunjuk teknisnya. Melalui penerbitan peraturan pemerinah ini, pemerintah daerah kembali memiliki wewenang untuk membentuk sebanyak 18 dinas. Namun demikian, dalam kenyataannya terdapat ketidakseragaman bentuk instansi bidang penanaman modal di daerah. Sebagai contoh, pelaksanaan kebijakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di daerah dapat dilaksanakan dalam bentu dinas, badan,kantor atau pun unit. Kondisi demikian seharusnya tidak perlu terjadi mengingat sebelumnya pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Namun demikian pada kenyataannya kondisi tersebut tetap terjadi karena terdapat perbedaan pengaturan mengenai sebutan bagi lembaga pelaksana PTSP. PP No. 41 Tahun 2007 menyebut dengan istilah Unit Pelayanan Terpadu (UPT) sementara itu terdapat daerah yang telah terlanjur mendirikan dinas perizinan.  Hal demikian kemudian menimbulkan kebingungan bagi pemerintah daerah mengingat dalam PP terbaru pelayanan PTSP tidak dapat lagi dilakukan oleh lembaga yang berbentuk bentuk dinas. Secara langsung atau tidak langsung kondisi demikian dapat mengakibatkan kebingungan bagi para investor.
4)      Pemerintah provinsi pada umumnya mempermasalahkan penerbitan Surat Keputusan Kepala BKPM Nomor 57 Tahun 2004 yang kemudian diperbarui dengan Surat Keputusan Kepala BKPM Nomor 70 Tahun 2004. Kedua SK tersebut berisi pencabutan kewenangan perizinan PMA yang selama ini ditangani oleh BKPMD. Dengan demikian maka kewenangan perizinan PMA yang pada awalnya telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah kemudian dikembalikan kepada pemerintah pusat. Ada pun dasar pengembalian kewenangan ini karena kewenangan perizinan PMA menyangkut masalah fiscal yang menjadi urusan departemen keuangan akan tetapi di sisi lain banyak pemerintah daerah yang menyatakan pandangan berbeda. Menurut beberapa pemerintah daerah, alasan pencabutan tersebut tidak tepat mengingat departeme keuangan memiliki kantor-kantor wilayah (Kanwil) yang merupakan instansi pusat. Dengan demikian, seharusnya kewenangan perizinan investasi tetap dapat dilaksanakan oleh pemerintah provinsi terlebih pemerintah provinsi merupakan perwakilan pemerintah pusat di daerah.









[1] Effendi, Taufq. Disertasi. Reformasi Birokrasi Sebagai Strategi Menumbuhkan Iklim Investasi di Indonesia. 2011. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
[2] Ibid. hal.171
[3] CMCG. 2003. Foreign Direct Investment in Emerging Market Countries. Sebuah Studi yang Disponsori oleh HSBC Bank, The Internastional Monetary Fund dan The World Bank dalam Effendi, Taufiq. Ibid
[4] Apeldorn, Van. Pengantar Ilmu Hukum. 2008. Jakarta. Pradnya Paramitha dalam Effendi, Taufiq. Ibid. Hal. 172
[5] Effendi, Taufiq. Loc.cit
[6] Ibid. hal, 189
[7] Ibid. hal. 192
[8] Ibid. hal. 197
[9] Ibid. hal. 202

Tidak ada komentar:

Posting Komentar