Jumat, 17 September 2010

ANALISIS YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TRADITIONAL KNOWLEDGE DALAM REZIM HAKI INTERNASIONAL DIKAITKAN DENGAN CARPET CASE, KASUS POHON NEEM INDIA DAN KLAIM MALAYSIA ATAS MOTIF BATIK PARANG

Oleh : Inda Rahadiyan,S.H.
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perkembangan kehidupan masyarakat dunia dewasa ini tengah memasuki era globalisasi di berbagai bidang terutama bidang ekonomi. Globalisasi ekonomi ini antara lain ditandai dengan tingginya tingkat perdagangan internasional dan penanaman modal asing secara langsung.[1] Konsep globalisasi yang demikian dapat dikatakan sebagai konsekuensi dari bebagai upaya yang dilakukan oleh masyarakat Internasional dalam  memperbaiki kondisi kehidupan khususnya pasca perang dunia ke-2.
Berkaitan dengan globalisasi ekonomi, kemunculan kelompok negara berkembang yang merupakan negara-negara bekas jajahan khususnya di kawasan Asia, Amerika Selatan dan Afrika telah menjadikan kelompok ini sebagai kekuatan sekaligus pendatang baru dalam percaturan Internasional khusunya di bidang ekonomi . Kelompok negara berkembang ini kian memegang peranan penting ketika pada keyataannya sebagian besar sumber daya alam yang menjadi bahan utama industri banyak terdapat di kawasan negara-negara berkembang tersebut. Dengan perkataan lain, dalam era globalisasi ekonomi ini negara berkembang memegang peranan sebagai pemilik bahan mentah bagi industri yang merupakan bagian terpenting dari perdagangan internasional.
Keberadaan negara berkembang dengan berbagai kekayaan alam dan potensi lainnya seperti pengetahuan tradisional dan sumber daya genetik tak pelak menjadi salah satu perhatian penting di tingkat internasional. Sebagai contoh, pemanfaatan sumber daya genetik untuk berbagai kepentingan ( bahan pembuat obat, makanan, minuman, pengawet atau benih) yang kian meningkat telah mendorong perusahaan-perusahaan raksasa dari negara maju untuk turut ambil bagian dengan melakukan berbagai tindakan pemanfaatan. Namun demikian, adanya alih teknologi dan pembagian keuntungan ekonomi dari perusahaan besar  secara adil belum dirasakan oleh negara berkembang. Berbagai perusahaan besar yang menolak untuk melakukan alih teknologi dan pembagian keuntungan berdalih bahwa sumber daya genetik yang terdapat di negara berkembang tersedia secara berlimpah dan merupakan warisan leluhur sehingga termasuk dalam kategori common heritage humankind yang dapat digunakan kapan pun oleh siapa pun.[2] Kondisi demikian tentu mengakibatkan ketimpangan ekonomi yang makin tajam antara kelompok negara maju di satu sisi dengan kelompok negara berkembang di sisi lain terutama dalam bidang teknologi.
Kondisi sebagaimana tersebut di atas kemudian mendorong berbagai pihak terutama negara-negara berkembang untuk terus berupaya mewujudkan perlindungan hukum secara internasional khusunya terhadap pengetahuan tradisional (Traditional Knowledge/TK) dan sumber daya genetik (Genetic Resouces/GR) yang merupakan again dari kekayaan intelektual. Upaya perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dilakukan dalam kerangka hukum World Trade Organization (WTO) mengingat hingga saat ini belum terdapat pengaturan yang tegas dan jelas mengenai perlindungan terhadap TK dan GR khusunya dalam Trade Related Aspect on Intellectual Property Rights (TRIPS) sebagai salah satu perjanjian dalam WTO yang mengatur tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Belum adanya pengaturan hukum yang jelas tersebut setidaknya  telah mengakibatkan terjadinya berbagai permasalaha terkait dengan TK dan GR yang tidak jarang melibatkan persengketaan antar negara. Sebagai contoh dari kondisi tersebut dapat dilihat dalam kasus paten pohon neem India dan pengklaiman motif batik parang milik Indonesia oleh Malaysia. Dengan demikian, upaya mewujudkan perlindungan hukum yang jelas dan tegas terhadap TK dan GR sejalan dengan tujuan utama TRIPS-WTO itu sendiri yang hendak meningkatkan perlindungan yang efektif dan memadai terhadap HKI dan untuk menjamin bahwa prosedur serta langkah-langkah penegakan hukum HKI itu sendiri tidak menjadi hambatan bagi perdagangan Internasional.[3]
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang sebagaimana tersebut di atas maka diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap traditional knowledge (TK) dalam rezim HAKI internasional saat ini terutama jika dikaitkan dengan kasus pohon Neem India dan klaim motif batik parang oleh Malaysia?
2.      Kesulitan apasajakah yang dihadapi dalam rangka menciptakan suatu pengaturan hukum yang mengikat (legal binding instrument) di tingkat Internasional bagi perlindungan terhadap TK?
            BAB II
PEMBAHASAN
A.    Istilah dan Pengertian Tradisional Knowledge (TK)
Sejak pertengahan tahun 1980 pembahasan mengenai kreativitas intelektual penduduk asli difokuskan pada perlindungan terhadap ekspresi kebudayaan tradisional (folklore), genetic resources (GR) serta traditional knowledge (TK). Setelah kurun waktu tersebut pembahasan mulai meluas pada bidang-bidang seperti ekologi, obat-obatan serta bidang pengetahuan tradisional yang lain. Hal ini dikarenakan berbagai bidang pengetahuan tradisional tersebut merupakan salah satu sumber daya bernilai tinggi dalam rangka pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan.[4]
Secara umum tradisional knowledge ddefinisikan sebagai:[5]
“all traditional based (i.e.,generally developed on the basis of transmission from generation to generation) intellectual (i.e., based on intellectual activity) creations and innovations, in the very broadest sense, which are constanly evolving in response to a changing environment and are generally regarded as pertaining to a particular people or territory.
Sementara itu, WIPO sebagai organisasi HKI di tingkat Internasional menggunakan istilah TK untuk menunjuk pada kesusasteraan berbasis tradisi, karya artistik atau ilmiah, pertunjukkan, invensi, penemuan ilmiah, desain, merek, nama dan simbol, informai yang tidak diungkapkan, dan semua inovasi dan kreasi berbasis tradisi lainnya yang disebabkan oleh kegiatan intelektual dalam bidang-bidang industri, ilmiah, kesusasteraan atau artistik.[6]
Secara lebih luas TK meiputi bidang-bidang sebagai berikut:
a.       berbagai ekspresi kesenian seperti; lagu tradisional, tarian, pakaian serta kesasteraan
b.      obat-obatan tradisional
c.       serta sistem pertanian tradisional yang merupakan faktor penting dalam perekonomian[7]
Menurut pendapat penulis berdasarkan pada beberapa pengertian  tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa TK sebagai salah satu bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI)  memiliki cakupan yang luas. Dikatakan luas karena TK mencakup keseluruhan dari pengetahuan yang timbul secara tradisional dalam masyarakat tertentu serta yang dikembangkan secara turun temrun.
B.     Perlindungan Terhadap Traditional Knowledge Dalam TRIPS
Pengetahuan tradisional merupakan faktor penting bagi perekonomian. Sebagai contoh, di negara-negara berkembang obat-obatan tradisional mampu memenuhi kebutuhan akan kesehatan bagi kurang lebih 80% penduduknya. Kondisi tersebut kemudian meningkatkan permintaan terhadap obat-obatan tradisional di negara-negara maju. Selain itu, pengetahuan tradisional di bidang pertanian khususnya mengenai varietas tanaman dan karakteristiknya telah menjadi hal terpenting bagi pembangunan berkelanjutan di bidang sistem pertanian. Sebagai konsekuensi dari  fakta-fakta tersebut, kebutuhan akan adanya perlindungan terhadap pengetahuan tradisional semakin meningkat.[8]
WTO yang merupakan organisasi terbesar sekaligus bertindak sebagai wasit dalam perdagangan dunia memberikan pengaturan terhadap hak kekayaan intelektual melalui TRIPS. Sebagai salah satu perjanjian yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari WTO agreement, TRIPS menetapkan standar minimum tentang perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual yang harus diaplikasikan oleh setiap negara anggota melalui tindakan ratifikasi dan harmonisasi hukum nasional negara anggota terhadap TRIPS. Berkaitan dengan ratifikasi dan pengharmonisasian hukum nasional oleh negara anggota terhadap WTO agreement tersebut sebagaimana terdapat dalam Pasal XVI ayat (4) WTO Agreement:[9]
   Each member shall ensure the conformity of its laws, regulations and administrative procedures with its obligations as provided in the annexed agreements.
TRIPS memberikan pengaturan terhadap beberapa bidang HKI antara lain; hak cipta, paten, merek.desain industry serta indikasi geografis. Ketentuan yang terdapat di dalam TRIPS agreement ini mengacu pada ketentuan dalam Paris Convention dan Berne Convention. Dengan demikian, apabila mendasarkan pada ketentuan dan ruang lingkup bidang HKI yang terdapat di dalam TRIPS maka traditional knowledge belum mendapat pengaturan di dalam TRIPS.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, TRIPS mengacu pada ketentuan Paris Convention dan Berne Convention. Menurut pendapat penulis, meskipun TRIPS agreement tidak mencakup dan memberikan perlindungan terhadap TK, apabila dikaji lebih lanjut terdapat ketentuan di dalam Berne Convention yang memberikan perlindungan secara tidak langsung terhadap salah satu bentuk traditional knowledge. Dalam Pasal 1 Ayat (1) Konvensi Berne mengenai ‘karya cipta dan seni sastra’ ditentukan bahwa yang termasuk karya cipta dalam ketentuan tersebut termasuk pula karya cipta gambar. Dengan demikian, apabila TK terwujud dalam suatu bentuk gambar maka TK tersebut juga mendapat perlindungan. Dengan perkataan lain, khusus mengenai TK yang berbentuk gambar sebenarnya telah mendapatkan perlindungan dalam rezim HKI internasional melalui Konvensi Berne. Sebagai contoh berkaitan dengan pendapat ini adalah terhadap motif seni batik tradisional Indonesia.
C.     Aspek-aspek HAKI dalam Carpet Case, Kasus Pohon Neem India serta Klaim Malaysia Atas Motif Batik Parang Indonesia
1.      Carpet Case[10]
Kasus ini berawal dari tiga orang seniman yang berasal dari wilayah Australia bagian utara mengajukan gugatan ke Pengadilan Federal Australia atas tindakan pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh beberapa importir karpet. Ketiga orang seniman tersebut bertindak atas nama lima keluarga suku Aborigin yang telah meninggal dunia. Gugatan dilakukan karena beberapa importir (Tergugat) telah melakukan reproduksi atas karpet yang motif aslinya merupakan milik lima keluarga Aborigin. Terhadap gugatan pelanggaran hak cipta yang ditujukan para importir membantah dengan menyatakan bahwa tidak terdapat hak cipta dalam ciptaan seni karpet yang mengandung desain masa lalu. Selain itu dalam karpet yang dimaksud tidak ditemukan pula pencipta dan keaslian dari ciptaan pada karpet yang bersangkutan sebagai syarat adanya hak cipta. Pengadilan Federal Australia tidak sependapat dengan argumentasai tergugat. Pengadilan berpendapat bahwa jika jika suatu desain memiliki kompleksitas dan kerumitan yang mencerminkan keaslian dan keahlian yang tinggi maka desai tersebut telah memenuhi syarat keaslian dalam hak cipta.[11] Meskipun fakta menunjukkan bahwa sebelumnya telah terdapat desain yang diciptakan oleh masyarakat tradisional. Lebih dari itu tidak diperlukan terjadinya tindakan meniru secara sama persis untuk menyatakan adanya pelanggaran terhadap hak cipta. Pelanggaran dapat terjadi pada saat suatu ciptaan telah diubah secara substansial ke dalam ciptaan/produk yang lain. Dengan demikian, Pengadilan Federal Australia memenangkan gugatan penggugat dengan menyatakan bahwa tergugat telah terbukti melakukan tindakan pelanggaran hak cipta atas desain karpet milik penggugat.
Apabila dikaitkan dengan HAKI menurut pendapat penulis, kasus tersebut lebih berkaitan dengan bidang TK daripada hak cipta. Namun demikian, pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengadilan Federal dalam kasus tersebut dapat dimengerti karena mungkin desain karpet masyarakat Aborigin (sebagai penggugat) mendapat perlindungan melalui hukum hak cipta Australia. Kembali kepada pendapat penulis pada bagian sebelumnya, desain karpet penggugat dapat dikategorikan dalam TK karena desain tersebut sebelumnya telah dikembangkan oleh masyarakat aborigin atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa desai tersebut merupakan hasil dari kreativitas intelektual masyarakat adat tertentu yang kemudian dikembangkan secara turun temurun. Dengan demikian, terdapat setidaknya satu hal penting yang menjadi catatan penulis terhadap kasus tersebut. Hal penting yang dimaksud adalah adanya suatu usaha yang dilakukan oleh negara untuk memberikan perlindungan terhadap karya intelektual masyarakat tradisional dengan menggunakan hak cipta sebagai instumen hukumnya meskipun terhadap kemungkinan perlindungan TK dengan hak cipta hal ini masih terdapat banyak hal yang memerlukan pengkajian secara lebih mendalam.
 Selain itu, Carpet Case sebagaimana tersebut di atas dapat menjadi pelajaran berharga  bagi pemerintah Indonesia dalam menghadapi maraknya tindakan pelanggaran HKI khususnya esploitasi terhadap TK terutama yang dilakukan oleh pihak asing. Hal ini dapat dikaitkan dengan pengakuan terhadap salah satu motif batik parang yang terdapat di Indonesia oleh Malaysia.[12]
2.      Kasus Pohon Neem India
The Neem Patents[13]
   The neem tree (Azadirachta indica) has been the subject of a considerable number of patent, with more than 40 in the US alone and at least 150 worlwide. The inventions described in virtually all of the neem related patent  used public domain traditional knowledge as starting point. They have aroused considerable controvercy, especially in India, where most of the traditional knowledge holders originate. There have been at least two patent challenges: (1) to a European Patent Office (EPO) patent for the fungicidal effect of neem oil (Patent No.436 257 B1) owned by W.R. Grace and Co., and (2) to US patent for a storage-stable azadirachtin formulation (Patent No.5124349) also owned by W.R.Grace. The challenge to the former patent succeeded in 2000 when the EPO revoked the patent on the grounds of lack of novelty and inventive step.
  Kasus tersebut berawal dari terdaftarnya paten atas pohon Neem asal India yang hampir terdapat di seluruh dunia. Pendaftaran atas paten tersebt dilakukan dengan mendasarkan pada argument bahwa penemuan atas pohon Neem telah menjadi milik publik. Sementara itu, kondisi tersebut menimbulkan kontroversi di dalam negeri India mengingat sebagian besar pemegang TK atas pohon Neem berada di India. Kontroversi ini kemudian berlanjut dengan pengajuan gugatan terhadap setidaknya dua paten yang ditujukan kepada Kantor Paten Eropa (EPO) terhadap pemberian paten atas fermentasi minyak pohon Neem dan kepada Kantor Patent Amerika terhadap pemberian paten atas penyimpanan formula pohon Neem yang keduanya dipegang oleh W.R Grace and Co. Gugatan tersebut berhasil pada tahun 2000 dengan pencabutan paten oleh EPO karena paten yang telah didaftarkan tersebut pada kenyataannya tidak memenuhi syarat kebaruan dan lengkah inventif.
Kasus pohon Neem India sebagaimana tersebut di atas menjadi salah satu kasus yang memperlihatkan betapa pentingnya pemberian perlindungan hukum secara tegas terhadap TK secara internasional. Pelindungan hukum dalam kasus pohon Neem tersebut menjadi suatu hal yang sangat diperlukan agar jangan sampai pemegang TK yang sebenarnya justru tidak mendapatkan manfaat secara ekonomi karena TK yang dimiliki telah terlebih dahulu didaftarkan sebagai hal individu oleh pihak asing.
  Berkaitan dengan kasus pohon Neem India, hingga saat ini masih terdapat kontroversi mengenai syarat kebaruan (novelty). Ada pun kontroversi yang dimaksud adalah mengenai pedoman yang digunakan dalam menentukan suatu kebaruan. Terhadap suatu invensi yang telah digunakan di suatu negara meskipun belum didaftarkan atau apakah invensi harus benar benar baru saja ditemukan untuk dapat dikatakan memenuhi unsur kebaruan. Selain itu, sistem paten memungkinkan perusahaan asing menyalahgunakan posisi mereka sebagai pemegang monopoli sehingga dapat mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini tentu bertentangan dengan tujuan filosofis perlindungan paten dalam rangka mendorong terjadinya penemuan.[14]
3.      Klaim Malaysia Atas Batik Parang Indonesia
Sehubungan dengan tindakan penggunaan/pemanfaatan secara komersial terhadap seni batik tradisional Indonesia oleh pihak asing, terdapat contoh yang dapat dikemukakan yaitu mengenai diakuinya motif batik parang oleh Malaysia.[15]
Tindakan pengklaiman terhadap seni batik tradisional ini bukanlah satu-satunya tindakan yang dilakukan oleh Malaysia. Masih segar dalam ingatan, beberapa waktu yang lalu ketika tari Pendet masuk dalam salah satu tayangan iklan pariwisata Malaysia dan diklaim sebagai tari asal negeri Jiran itu.
Batik tradisional pada umumnya ditandai oleh adanya bentuk motif, fungsi dan teknik produksinya yang bertolak dari budaya tradisional.[16] Hal paling mendasar berkaitan dengan seni batik ini adalah upaya memberikan penghargaan berupa perlindungan bagi para pembatik atas hasil karya intelektualnya melalui karya seni batik.[17] Sebagai seni tradisional, maka batik tradisional seperti; parang rusak,sidomukti, truntum dan lain-lain dibuat dengan menggunakan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia secara turun temurun. Pengetahuan tradisional tersebut merupakan suatu pengetahuan yang digunakan dan dikembangkan oleh masyarakat Indonesia pada masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang.[18]
Berdasarkan pada penjelasan sebagaimana tersebut di atas, maka khusus bagi seni batik tradisional, hal ini terkait dengan ketentuan Traditional Knowledge. Hal ini dikarenakan berdasarkan pada Convention on Biological Diversity (CBD), definisi TK adalah pengetahuan, inovasi dan praktik-praktik masyarakat asli dan lokal yang mewujudkan gaya hidup tradisional dan juga teknologi lokal dan asli.[19] Dengan demikian, seni batik tradisional Indonesia dapat dikategorkan sebagai sebuah karya intelektual yang merupakan bagian dari TK dan sudah sepatutnya mendapat perlindungan hukum secara internasional. Menurut pendapat penulis, tindakan klaim terhadap motif  parang serta berbagai seni budaya lainnya lebih jauh dapat mempengaruhi keharmonisa hubungan antar negara. Oleh karena itu, akan lebih baik jika pamerintah Indonesia sendiri dalam hal ini lebih mengedepankan upaya perlindungan terhadap HKI khusunya TK.
D.    Kesulitan Kesulitan Yang Dihadapi Dalam Rangka Menciptakan Peraturan Hukum yang Mengikat (legal binding instrument) Bagi Perlindungan Terhadap TK Secara Internasional
Berbicara tentang upaya pembentukan suatu peraturan hukum yang mengikat bagi perlindungan TK secara Internasional, menurut pendapat penulis setidaknya sangat terkait dengan salah satu bidang HKI yaitu paten. Oleh karena itu dalam bagian ini akan dilakukan analisis secara sederhana terhadap adanya kemungkinan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap TK melalui paten serta beberapa kesulitan yang terdapat di dalamnya.
Mengenai kemungkinan traditional knowledge dilindungi melalui hukum paten, WIPO menyatakan sebagai berikut:
  In recent years it has been claims that patents have been granted for traditional knowledge –related inventions which did not fulfill the requirements of novelty and inventive step when compared with the relevant prior art. This prior artconsisted of traditional knowledge which could not be identified by the patent examiners during the examination of the patent application.
Terlepas dari pendangan WIPO tersebut, pada dasarnya setiap penemuan di biang teknologi dapat dimintakan perlindungan melalui pendaftaran paten. Mengenai persyaratan bagi suatu temuan yang hendak didaftarkan sebagai paten ditentukan secara jelas dalam pasal 27 TRIPS dengan ketentuan sebagai berikut:
  Subject to the provisions of paragraphs 2 and 3 patents shall be available for any inventions, whether products or processes, in all fields of technology, provided that they are new, involve an inventive step and are capable od industrial application.[20]
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 27 TRIPStersebut maka suatu penemuan suatu penemuan dapat didaftarkan melalui paten apabila memenuhi tiga persyaratan yaitu; kebaruan, dapat diaplikasikan ke dalam industri serta mengandung langkah inventif.
Terhadap persyaratan aplikasi industri menurut pendapat penulis dapat terpenuhi alam TK. Hal ini didasarkan pada fakta selama ini yang menunjukkan banyak TK yang dimodivikasi oleh pihak asing melalui perusahaan multinasionalnya kemudian dipatenkan dan setelah itu dimanfaatkan dalam industri.
Sementara itu berkaitan dengan kebaruan dalam paten, syarat untuk baru adalah bahwa teknologi dalam invensi tidak sama dengan teknologi yang sudah pernah terungkap sebelumnya.[21] Dalam TK persyaratan kebaruan ini sulit untuk terpenuhi mengingat TK sebagai suatu bentuk teknologi pada umumnya merupakan pengembangan dari teknologi yang sebelumnya telah dimiliki atau ditemukan oleh generasi pendahulu. Mengenai persyaratan mengandung langkah inventif, menurut pendapat penulis pesyaratan ini sulit untuk terpenuhi dalam TK mengingat TK merupakan penemuan di bidang teknologo yang pada umunya dikembangkan secara turun temurun dalam masyarakat tertentu sehingga seluruh anggota masyarakat yang tinggal alam wilayah tertentu tersebut mengetahui adanya teknologi yang terkandung dalam TK. Kondisi demikian juga diakibatkan oleh pemanfaatan teknologi dalam masyarakat tradisional yang biasanya selalu dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat tradisional. Dengan demikian, Syarat langkah inventif dan kebaruan menghalangi pendaftaran paten atas pengetahuan tradisional.[22]
Selain itu, berbagai masalah mengenai kemungkinan traditional knowledge dipatenkan pada dasarnya masih menjadi polemik. Hal ini dikarenakan HKI sebagai konsep yang berasal dari negara liberal dan ditujukan untuk melindungi hak individu atas kekayaan intelektual berbanding terbalik dengan konsep kepemilkan atas TK  khusunya di Indonesia yang berada dalam ranah hukum adat dengan karakteristik utama mengedepankan kepentingan komunal.[23]
BAB III
                  PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan sebagaimana tersebut di atas maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1.      Hingga saat ini belum terdapat perlindungan hukum yang jelas dan tegas terhadap TK dalam rezim HAKI Internasional. Namun demikian apabila dikaji lebih mendalam, menurut pendapat penulis, khusus bagi TK yang berbentuk gambar sebenarnya mendapatkan perlindungan dalam rezim HAKI Internasional melalui Konvensi Berne. Perlindungan secara tidak langsung tersebut dapa dilihat dalam ketentuan Pasal 1 Ayat (1) konvensi tersebut yang pada intinya menentukan bahwa ‘gambar’ termasuk dalam karya cipta yang dilindungi. Dengan demikian, khusus bagi TK yang berbentuk gambar mendapat perlindungan secara tidak langsung dalam rezim HAKI internasional melalui Konvensi Berne. Sebagai contoh, dalam motif karya seni batik tradisional Indonesia. Motif batik yang berupa gambar tersebut dapat dikatakan telah mendapatkan perlindungan secara tidak langsung dalam Konvensi Berne.
Apabila dikaitkan dengan Carpet Case, Kasus pohon Neem India serta Klaim Malaysia atas motif batik parang Indonesai maka katiga kasus tersebut menunjukkan betapa pentingya perlindungan hukum yang jelas dan tegas atas TK secara Internasional. Perlindungan tersebut dimaksudkan agar masyarakat asli selaku pemilik dari TK yang sebenarnya dapat turut menikmati bagian keuntungan secara ekonomi dari pemanfaatan TK yang selama ini dikuasai oleh kelompok negara mejau melalui perusahaan-perusahaan multinasionalnya. Apabila upaya perwujudan perlindungan ini tidak segera dilakukan maka akan terus terjadi penyalahgunaan posisi dan kemampuan permodalam yang dimiliki oleh pihak asing (dalam hal ini perusahaan barat) yang melakukan eksploitasi dan pengklaiman atas TK sebagaimana terjadi pada Carpet Case dan Kasus Pohon Neem.
2.      Berbicara mengenai upaya pembentukan peraturan hukum yang mengikat (legal binding instrument) bagi perlindungan TK menurut pendapat penulis sangat berkaitan erat dengan bidang paten. Hal tersebut dikarenakan pada dasarnya setipa penemuan di bidang teknologi dapat dimintakan perlindungan melalui pebdaftran paten.
Berkaitan dengan pendaftaran paten dalam rezim HAKI Internasional, Pasal 27 TRIPS mensyaratkan bahwa suatu penemuan dapat dimintakan pendaftaran paten asalkan memenuhi tiga persyaratan yaitu; baru, mengandung langkah inventif serta dapat diaplikasikan salam industri. Terkait dengan ketiga syarat ini, hanya syarat aplikasi industry yang kemungkinan besar dapat terpenuhi dalam TK sementara dua syarat lainnya yaitu kebaruan dan lengkah inventif tidak dapat terpenuhi sehingga menghalangi pemberian perlindungan terhadap TK melalui paten.
B.     Saran
1.      Agar seluruh anggota WTO terutama kelompok negara berkembang terus menjalin kerjasama dalam rangka mengupayakan terwujudnya suatu ketentuan hukum yang mengikat bagi perlindungan TK khusunya serta GRF (Genetic Resources dan Folklore).
2.      Agar kelompok negara maju lebih menyadari betapa pentingnya membangun suatu sistem perlindungan yang fair bagi TK mengingat kelompok negara berkembang yang sebagian besar merupakan pemegang TK memiliki hak atas pembagian keuntungan atas pemanfaatannya.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
    Dutfiel,Graham.Intellectual Property, Boigenetic Resources and Traditional  Knowledge.2004.UK..Earth Scan.
 Lewinsky,Silke Von.Indigenous Haritage and Intellectual Property Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore.2004.Netherlands.Kluwer International Law
 Purba,Afrillyanna dkk.TRIPS-WTO dan Hukum HKI Indonesia Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional.2005.Jakarta.Rineka Cipta
Purba,Zen Umar.Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPS.2005.Badung.PT.Alumni
Purwaningsih,Endang.Perkembangan Hukum Intellectual Property Rights Kajian Hukum Terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual dan Kajian Komparatif Hukum Paten.2005.Bogor.Ghalia Indonesia
 Van den Bossche,Peter.The Law And Policy of The World Trade Organization Text, Cases and Materials.2005.UK.Cambridge University Press.
WTO.The Legal Text The Results of The Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations.1999.UK.Camridge University Press.
JURNAL
Juwana,Hikmahanto.Kewajiban Negara Mentransformasikan Ketentuan Perjanjian Internasional Ke Dalam Peraturan Perundang-Undangan: Studi Kasus Pasca Keikutsertaan Dalam Capetown Convention.Jurnal Hukum Bisnis Volume28-No.4-Tahun 2009.Jakarta,YPHB
RANCANGAN PERATUAN PRUNDANG-UNDANGAN
Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor…Tahun…Tentang Perlindungan dan Pemanfaatan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional
INTERNET
 www.traditionalknowledgelearn.com.Toward A Conceptual Framework for Recognition of Rights for The Holdersof Traditional Knowledge and Folklore.William .O.Hannesey.
 www.traditionalknowledgelearn.com. Preserving, Protecting and Promoting Traditional Knowlwdge: National Actions and International Dimensions. Sophia Twarog,P.hd
 www.ias.unu.edu. Customary Law As The Basis For Prior Informed Consent of
Indigenous People and Local Communities. Brendan Tobin.
BAHAN SEMINAR/LOKAKARYA
      Bahan Presentasi Berjudul WIPO IGC-GRTKF dan Perkembangan Terkini disampaikan dalam LOkakarya Nasional tentang New Track Negotiation Guna Mewujudkan International Legally Binding Instrument Bagi Perlindungan Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (GRTKF) .

[1] Peter Van Den Bossche.2005.The Law and Policy of The World Trade Organization Text, Cases and Materials.Cambridge University Press.Uk.page.2
[2] Endang Purwaningsih.Perkembangan Hukum Intellectual Property Rights Kajian Hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual dan Kajian Komparatif Hukum Paten.2005.Bogor.Ghalia Indonesia.hal.251
[3] Idem.hal.2
[4] S. Von Lewinski. Indigenous Heritage and Intellectual Property Genetic Resouces, Traditional Knowledge and Folklore.2004.Kluwer Law International. Netherlands.page 49
[5] Idem.hal.55
[6] Afrillyana Purba,dkk.TRIPS-WTO dan Hukum HKI Indonesia Kajian Perlindungan HakCipta Seni Batik Tradisional Indonesia.2005.Rineka Cipta. Jakarta.hal.41
[7] idem
[8] S.Vos.Lewinsy.opcit.hal.50
[9] Hikmahanto Juwana.Kewajiban NegaraMentransformasikan Ketentuan Perjanjian Internasional Ke Dalam Peraturan Perundang-Undangan Studi Kasus Pasca Keikutsertaan Dalam Capetown Convention. Jurnal Hukum Bisnis volume.28-No.4 Tahun 2009.Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis.Jakarta.hal.52
[10] www.icip.lawnet.com.au. Indigenous Cultural and Intelectual Property Rights.Diakses tanggal 23 Mei 2003 dalam Afrillyanna dkk.opcit.hal.81
[11] Afrillyanna,dkk. idem
[12] Idem.hal.84
[13] Graham Dutfield.2004.Intellectual Property, Biogenetic Resources and Traditional Knowledge.Earthscan.UK.page.53
[14] Endang Purwaningsih.opcit.hal.29
[15] Afrillyanna,dkk.opcit.hal.100
[16] A.N.Suryanto.2002.Sejarah Batik Yogyakarta.Merapi.Yogyakarta.hal.2 dalam Afrillyana.opcit.hal.2
[17] Idem.hal.7
[18] Idem.hal.36
[19] Idem.hal.9-10
[20] WTO.2005.The Legal Text.The Results of The The Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations.Cambridge University Press.page 332
[21] Ahmad Zen Umar Purba.2005.Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPS.Penerbit Alumni.Bandung.hal.138
[22] Idem.hal.253
[23] Endang Purwaningsih.opcit.hal.249

Tidak ada komentar:

Posting Komentar