Kamis, 02 September 2010

PENEGAKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 DALAM KAITANNYA DENGAN KEBERADAAN USAHA PENJUALAN VCD BAJAKAN DI KOTA YOGYAKARTA



*) NB : Seluruh tulisan yang ada di blog ini dapat dikutip untuk keperluan akademis dengan mencantumkan sumbernya. STOP PLAGIARISME
 OLEH: Inda Rahadiyan

      Dewasa ini, permasalahan mengenai hak atas kekayaan intelektual atau yang biasa disebut dengan istilah HAKI menjadi semakin penting untuk dikaji. Perkembangan berbagai macam ciptaan yang merupakan hasil karya manusia pada dekade ini telah memasuki masa yang baru yaitu masa globalisasi dimana pada masa ini geliat dunia perdagangan menunjukkan dinamisasi yang sangat signifikan.
      Seiring dengan era perdagangan bebas maka diperlukan suatu pengaturan yang jelas dan tegas terhadap berbagai hal yang menyangkut permasalahan perdagangan. Salah satu bidang yang begitu penting adalah kekayaan intelektual. Perlindungan terhadap kekayaan intelektual khususnya hak cipta merupakan suatu keharusan bagi tiap negara untuk menjamin keberlangsungan penciptaan kreasi-kreasi baru dan untuk memotifasi warga masyarakat dalam mengembangkan ide dan kreatifitas  yang belum terwujud.
      Indonesia sebagai salah satu negara penandatangan persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia (Agreement Establishing The World Trade Organization) yang di dalamnya tercakup persetujuan mengenai TRIPs maka sesuai dengan kebiasaan internasional Indonesia harus menyesuaikan hukum nasionalnya (dalam hal ini mengenai hak cipta) dengan ketentuan hukum internasional yang terdapat di dalam konvensi tersebut. Tindakan penyesuaian hukum di bidang hak cipta dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan mengundangkan Undang-Undang Hak Cipta yang dalam perjalanannya telah berkali-kali disempurnakan. Ada pun penyempurnaan yang terakhir hingga saat ini dilakukan dengan mengundangkan Undang–Undang Nomor 19 tahun 2002.
      Secara umum hak cipta dapat diartikan sebagai hak khusus yang diberikan kepada pencipta untuk memperbanyak, mengumumkan, maupun memberikan izin untuk itu kepada pihak lain. Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia permasalahan mengenai hak cipta telah diatur tersendiri dengan diundangkannya Undang-Undang nomor 19 tahun 2002 tentang hak cipta. Pasal 1 butir 1  Bab ketentuan umum undang-undang tersebut memberikan definisi hak cipta sebagai hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan–pembatasan menurut ketentuan peraturan perundang–undangan yang berlaku. Lebih jauh Undang-Undang ini telah menetapkan pula sanksi pidana terhadap pelanggaran ketentuan perlindungan hak cipta.
      Perlindungan hukum terhadap suatu ciptaan terjadi secara otomatis pada saat suatu ide yang dihasilkan oleh pemikiran manusia kemudian diwujudkan menjadi benda materiil. Secara rasional dapat dipahami bahwa suatu ciptaan memerlukan instrumen hukum sebagai pelindung hal ini dikarenakan seseorang membutuhkan begitu banyak pengorbanan untuk mewujudkan ciptaannya. Sebagai contoh, misalnya seorang produser rekaman atau sebuah band membutuhkan biaya dan pengasahan talenta seni yang luar biasa untuk dapat menciptakan sebuah lagu. Hal–hal tersebut merupakan sebagian kecil  yang menunjukkan alasan logis mengapa suatu ciptaan perlu dilindungi.
      Usaha Pemerintah untuk melindungi setiap ciptaan melalui penetapan UUHC sejak tahun 2002 hingga saat ini masih belum menampakkan hasil seperti yang diharapkan. Kondisi semacam ini dapat dilihat salah satunya dari semakin maraknya berdiri usaha–usaha penjualan VCD bajakan. Usaha penjualan VCD bajakan selalu dapat dijumpai pada pusat-pusat kota terutama pada lokasi–lokasi kampus yang notabene lingkungan tersebut dihuni oleh golongan intelektual (mahasiswa) yang dianggap memiliki pemahaman lebih dalam mengenai hukum. Usaha penjualan ini terus berkembang bak cendawan di musim hujan bahkan dari daerah pinggiran hingga ke pusat-pusat perbelanjaan ternama padahal kegiatan semacam ini jelas-jelas merupakan suatu pelanggaran terhadap ketentuan UUHC yang diancam dengan sanksi pidana.
      Ironisnya, keberdaan usaha penjualan VCD bajakan yang luar biasa jumlahnya ini nampak seperti suatu usaha yang legal dan tidak melanggar hukum. Usaha penjualan VCD semacam ini bahkan mulai berkembang menjadi sebuah usaha yang lengkap dengan penambahan item VCD program–program  komputer bajakan. Dengan membayar sekitar dua ribu lima ratus rupiah konsumen dapat menginstal program komputer yang harga aslinya mencapai jutaan rupiah. Keadaan semacam ini tentu menimbulkan kerugian yang luar biasa bagi keuangan negara dan merupakan suatu pelanggaran yang nyata terhadap hak si pencipta.
      Indonesia sebagai salah satu  negara yang memiliki  jutaan kekayaan budaya ini bahkan tercatat sebagai salah satu negara dengan jumlah pelanggaran hak cipta terbesar di dunia. Berbagai bentuk pelanggaran hak cipta telah menjadi sesuatu yang  biasa dan wajar dalam kehidupan sehari–hari masyarakat yang nampaknya sudah sangat penat dengan berbagai kesulitan hidup. Salah satu bentuk pelanggaran yang paling banyak dilakukan dengan terang–terangan adalah usaha penjualan VCD bajakan. Usaha penjualan VCD bajakan ini telah menjadi semacam mata rantai kegiatan perdagangan ilegal yang sangat sulit untuk diputuskan dan dicari ujung pangkalnya. Kondisi semacam ini tentu saja menjadikan usaha perdagangan VCD bajakan  nampak seperti usaha perdagangan yang bersih dan legal bahkan mampu merambah pusat perbelanjaan dan mall-mall ternama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar