Minggu, 19 September 2010

KONSEP CSR (CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY) SEBAGAI INSTRUMEN ALTERNATIF DALAM PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT INDONESIA

*) NB : Seluruh tulisan yang ada di blog ini dapat dikutip untuk keperluan akademis dengan mencantumkan sumbernya. STOP PLAGIARISME


KARYA TERJEMAHAN
Oleh: Inda Rahadiyan

PEARSON INTERNATIONAL EDITION
International Business Law

Text,Cases and Reading


FIFTH EDITION
Ray August, Don Mayer and Michael Bixby




Bagian Satu
PENGANTAR HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM PERBANDINGAN



A. APA YANG DIMAKSUD DENGAN HUKUM INTERNASIONAL?

Hukum Internasional terdiri dari tiga bentuk hubungan internasional, yaitu:
(1) Hubungan antar negara
(2) Hubungan antara negara dengan oang
(3) Hubungan antar orang (dalam pengertian hukum)
Subyek hukum internasioanal mengalami perubahan signifikan dewasa ini. Secara tradisional, hukum internasional dipahami sebagai hubungan antar pemerintah negara atau hubungan antar negara. Ketentuan hukum nasional dari dua negara atau lebih,hubungan hukum antar banyak negara tersebut secara umum kemudian dikenal sebagai konsep hukum internasional publik. Sementara itu, hubungan yang terjadi antar pihak swasta antar negara dikenal dengan istilah hukum internasional privat yang ditafsirkan sebagai hukum yang diadopsi sebagai aturan hukum dalam hubungan antara orang(perusahaan) yang berbeda negara.


Dalam beberapa hal penggunaan istilah hukum internasional menimbulkan perdebatan. Tidak ada sebuah kesepakatan dari masing-masing pemerintah negara, baik untuk menyusun maupun melakukan penegakan hukum serta tidak ada satu persetujuan Internasional pun yang membentuk sebuah badan penyelesaian sengketa yang terjadi antar warga negara dari negara yang berbeda. Kondisi demikian dapat dipahami karena “hukum dipandang sebagai pemegang mandat dari kedaulatan negara”, konsekuensi dari pandangan tersebut adalah tidak adanya ketentuan hukum yang benar-benar memaksa bagi seluruh negara. Lebih dari itu, pengaruh kekuasaan negara dalam sektor swasta turut mendorong perkembangan baru dalam bidang hukum internasional. Saat ini, istilah hukum internasional telah digunakan sebagai aturan main dalam berbagai permasalahan yang melewati lintas batas negara baik pada sektor public maupun privat.
Setidaknya terdapat tiga pandangan mengenai hukum internasional. Kaum Cosmopolitan memandang konsep hak asasi manusia yang bersifat universal sebagai dasar dari hukum internasional. Sehingga, hukum internasional harus menetapkan larangan bagi setiap negara terhadap tindakan-tindakan yang melanggar hak asasi manusia dan tindakan yang tidak relevan dengan konsep hak asasi manusia. Sementara itu, kaum positivis memandang bahwa hukum internasional berdasarkan pada dua hal yaitu (1) persamaan kedaulatan bagi setiap negara di hadapan hukum internasional (2) negara menciptakan konsep hukum internasional bagi setiap individu melalui perjanjian internasional atau melalui hukum kebiasaan yang telah ada. Lebih lanjut, hukum internasional dalam pandangan positivis dilihat sebagai bentuk perjanjian antar negara dimana kaidah hukum internasional akan menjadi ketentuan yang mengikat apabila kaidah tersebut dicantumkan dalam sebuah perjanjian baik secara implisit maupun eksplisit. Berbeda dengan golongan Cosmopolitan dan Positivis, Hobbesians meyakini bahwa negara hanya akan setuju dan patuh pada ketentuan hukum internasional yang menguntungkan kepentingan mereka. Tentunya, para mahasiswa, ahli hukum serta politikus akan jarang untuk mengadopsi salah satu dari pandangan tersebut dan menerapkannya secara konsisten akan tetapi menggabungkan pandangan-pandangan yang ada sehingga masing-masing pandangan dapat dilaksanakan secara bersama-sama oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam sebuah negara.
Bagaimanapun, hukum internasional lebih dari sekedar perilaku baik atau tindakan saling menguntungkan diantara masing-masing negara yang berdaulat. Doktrin Comity adalah salah satu contoh yang tepat untuk memberikan gambaran terkait dengan hal ini. Comity, sebuah praktik pergaulan antar negara yang dilakukan dengan memperhatikan reputasi(citra baik) dan kaidah kesopanan. Comity bukan merupakan suatu kaidah hukum, meskipun demikian negara tidak menolak berlakunya doktrin ini karena negara menganggapya sebagai sebuah tindakan penghormatan. Sebagai contoh, konsep comity (penghormatan) telah menjadi bagian dari kewajiban negara berdasarkan artikel 36 Konvensi Vienna tahun 1961 Tentang Hubungan Diplomatik. Dalam konvensi tersebut ditentukan bahwa sebagai sebuah penghormatan, bagi para diplomat luar negeri yang mengimpor barang untuk keperluan pribadi dibebaskan dari berbagai kewajiban yang berkaitan dengan impor pada umumnya. Meskipun terkait dengan pelaksanaan keistimewaan ini tidak ada paksaan bagi negara untuk melaksanakannya akan tetapi negara tetap melaksanakan. Hal ini berkaitan dengan asas timbal balik dalam hukum internasional yang mana suatu negara mengharapkan perlakuan yang sama dari negara lain.
Dalam konsep Comity yang bersifat non formal ini negara memiliki kewenangan untuk melakukan pengecualian dalam pemberian penghormatan kepada negara lain, pengecualian ini terutama dilakukan melalui persetujuan yang berkaitan dengan pemberlakuan suatu ketentuan dan akibatnya dalam bidang eksekutif, legislative serta bidang peradilan. Prinsip ini terutama dilaksanakan oleh pengadilan dengan menghormati kewenangan, ketentuan hukum maupun putusan pengadilan negara lain.
Kasus antara Ignatio Sequihua Versus Texaco merupakan sebuah kasus yang relevan dengan doktrin comity. Berdasarkan pada kasus tersebut kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa menurut doktrin Comity, Pengadilan harus melakukan penafsiran terhadap setiap perkara yang diperiksanya dengan menghormati hukum dan kepentingan negara lain(dalam hal ini pihak asing).
Walaupun negara tidak memiliki kewajiban untuk menggunakan hukum dari negara lain dalam mekanisme penyelesaian sengketa akan tetapi negara menerapkannya secara sukarela dan terbatas. Sebagai contoh, pengadilan di Amerika Serikat akan menolak untuk memeriksa sebuah perkara dalam kondisi dimana pihak penggugat (asing) dalam perkara tersebut dianggap tidak memiliki koneksitas yang cukup dengan negara Amerika Serikat, ketika terdapat forum pengadilan lain yang dianggap lebih layak, ketika Konggres tidak memerintahkan Undang-Undang untuk menerima doktrin ekstrateritorial serta ketika hukum nasional memerintahkan kepada pengadilan untuk menolak berlakunya hukum internasional.
Walaupun terdapat banyak pembatasan, telah menjadi sebuah kebiasaan bagi pengadilan di beberapa negara untuk mempertimbangkan aspek Internasional dalam rangka memutus perkara. Jika sebuah korporasi menjalankan usaha bisnisnya di negara lain lalu korporasi tersebut melakukan pelanggaran hukum di negara tersebut maka negara tuan rumah, negara tuan rumah dalam hal ini akan memiliki kewenangan yang diakui di bawah hukum kebiasaan internasional untuk memutuskan perkara terhadap tergugat yang merupakan pihak asing tersebut. Ketentuan ini dikenal sebagai asas teritorial dimana negara memiliki yurisdiksi untuk memutuskan perkara yang melibatkan pihak asing. Hal kedua terkait pula dengan yurisdiksi adalah jika perusahaan-perusahaan Amerika Serikat melakukan tindakan serupa di negara asing, terhadap mereka masih dimungkinkan untuk diperiksa oleh pengadilan Amerika Serikat berdasarkan prinsip yurisdiksi nasional. Apabila tindakan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing menimbulkan dampak secara langsung bagi suatu negara disamping hal yang terkait dengan kepemilikan mereka sendiri, maka terhadap mereka dapat dikenakan pemeriksaan oleh negara lain, yurisdiksi yang bersifat obyektif semacam ini bagaimana pun juga akan lebih problematik bagi pihak yang menjadi subyek pada beberapa putusan pengadilan seperti yang terlihat pada kasus Timberline.
Meskipun negara memiliki yurisdiksi ke luar terhadap perkara yang menimbulkan akibat secara langsung bagi negara namun demikian sebaiknya negara tidak memberlakukan hukum asing sebagai tindak lanjut atas seseorang atau aktivitas yang berkaitan dengan negara lain bila hal tersebut ternyata tidak beralasan. Apa yang dikenal dengan istilah restatement kemudian digunakan sebagai bahan evaluasi dalam pemberlakuan hukum asing. Beberapa faktor yang digunakan untuk menilai beralasan atau tidaknya pemberlakuan hukum asing adalah sebagai berikut:
a) Kaitan antara suatu aktivitas dengan negara regulator, yang termasuk dalam hal ini adalah aktivitas yang berlangsung dalam wilayah teritorial, memiliko substansi, langsung serta dapat dinilai sebagai aktivitas yang menimbulkan dampak dalam suatu wilayah tertentu;
b) Hubungan lain, seperti asas nasionalitas, wilayah, atau aktivitas ekonomi antara negara regulator dengan orang yang secara resmi terhadap aktivitas yang telah diatur, atau hubungan antara negara dengan pihak lain yang dimaksudkan untuk mendapat perlindungan dari pengaturan tersebt;
c) Karakteristik dari aktivitas yang hendak diatur, arti penting sebuah regulasi bagi negara regulator, termasuk dalam hal ini adalah adanya negara lain yang telah melakukan pengaturan pada aktivitas yang dimaksud, serta tingkat kelayakan bagi aturan untuk diterima sebagai prinsip umum;
d) Kepentingan pengaturan terhadap politik internasional, hukum, atau sistem ekonomi;
e) Ruang lingkup pengaturan yang sesuai dengan kebiasaan dalam sistem hukum internasional;
f) Kemungkinan adanya negara lain yang memiliki kepentingan dalam aktivitas yang hendak diatur;
g) Kemungkinan timbulnya konflik dengan peraturan negara lain.
Keberadaan sebuah forum yang dapat menyelesaikan perkara keperdataan internasional akan menghilangkan kebutuhan untuk menciptakan keseimbangan dibawah asas “kelayakan”. Terdapat beberapa permohonan terkait dengan hal ini namun tidak ada yang menunjukkan adanya suatu keadaan yang mengancam. Sementara itu, perjanjian multilateral seperti Hague Choice of Courts Agreements Conventions dilaksanakan untuk meminimalisasi ketidakpastian dan ketidakjelasan bagi pengadilan nasional ( sering digunakan dengan istilah “municipal Court) yang memeriksa perkara dengan para pihak yang berasal lebih dari satu negara.
B. PENYUSUNAN HUKUM INTERNASIONAL
Dalam sebuah negara, hukum diciptakan oleh badan legislative, pengadilan atau badan pemerintah lainnya. Akan tetapi di tingkat internasional, tidak ada perangkat-perangkat pembentuk hukum yang dikenal secara formal. Selain itu tidak ada juga yang disebut sebagai pemerintah dunia. Terlepas dari kondisi tersebut, dalam bekerjasama, negara berfungsi untuk menetapkan aturan bagi legislasi dalam negeri masing-masing.

Menurut pandangan positivis, hukum internasional hanya berperan pada saat negara melaksanakannya. Pelaksanaan oleh masyarakat internasional nampak dalam praktik pada tiap negara, dalam praktik ini apat dilihat pujla adanya persetujuan antar negara. Beberapa pernyataan atau bukti tentang kepatuhan terhadap hukum internasional ini dapat dilihat pada putusan-putusan mahkamah internasional, (termasuk putusan yang terdahulu, Pengadilan Tetap Internasional), resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam penyusunan perjanjian-perjanjian internasional serta hasil-hasil konferensi internasional. Kadangkala, terhadap sebuah kebijakan yang telah diatur melalui perjanjian bilateral secara berulang-ulang, pengadilan akan menolak pemberlakuan kaidah tersebut sebagai bentuk kepatuhan masyarakat Internasional. Para legal writer seringkali mencatat dan melaporkan sebuah perjanjian yang belum diratifikasi kepada badan-badan Internasional, seperti komisi-komisi internasional , tindakan tersebut sebagai sebuah trend yang mengindikasikan adanya kepatuhan internasional.
Kepatuhan suatu negara kepada hukum Internasioan dapat ditemukan pada deklarasi yang dilakukan oleh pemerintah dari negara yang bersangkutan, dalam hukum nasionalnya, dalam putusan pengadilannya serta dalam pejanjian-perjanjian internasional (baik bilateral maupun multilateral) yangmana negara tersebut berkedududkan sebagai pihak.

C. SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL
Sumber hukum atau bukti-bukti hukum Internasional adalah bahan-bahan yang digunakan oleh pengadilan internasional dalam mencari kaidah hukumnya. Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional menentukan sumber-sumber hukum internasional yang dapat digunakan oleh pengadilan. Sebagian besar penulis memandang bahwa daftar sumber hukum dalam pasal tersebut telah lengkap dan sebaiknya diterapkan oleh pengadilan internasional. Pasal 38 ayat (1) menentukan bahwa
Pengadilan yang melaksanakan fungsinya dalam rangka memeriksa dan memutus sengketa yang berkaitan dengan hukum Internasional dapat mengacu pada:
a) Konvensi internasional
b) Kebiasaan internasional sebagai bukti dari pelaksanaan prinsip-prinsip umum yang telah diterima sebagai hukum
c) Prinsip-prinsip umum yang diakui oleh negara


Bersambung…akan diupload pada bagian selanjutnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar